Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan peleburan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman tak akan melemahkan lembaga riset tersebut. Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko menyebutkan Eijkman yang sebelumnya hanya sebuah unit ad hoc di Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) kini menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM).
"Proses integrasi ini saya jadikan momentum untuk melembagakan LBM Eijkman," kata Handoko dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (7/1).
Peleburan LBM Eijkman di bawah BRIN ini mendapat sorotan. Salah satunya, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) mengkritik peleburan Eijkman ke dalam BRIN berpotensi melemahkan kelembagaan karena tanpa kebijakan transisi dengan waktu yang memadai.
Sekretaris Jenderal ALMI Hawis Maddupppa mengkhawatirkan proses peleburan tersebut menyebabkan diskontinuitas sebuat tim riset kelas dunia yang solid. "Tim ini tidak hanya terdiri dari SDM ilmuwan yang berkualifikasi S3, tetapi juga tenaga laboran, teknisi dan tenaga lain yang mendukung," kata Hawis dalam keterangan tertulis pada Rabu (5/1).
ALMI menilai para SDM tersebut merupakan inti dalam proses penelitian di LBM Eijkman. Jadi, peleburan tersebut berpotensi menghapus infrastruktur kelembagaan Eijkman yang selama ini dikenal berhasil menerapkan kultur akademik terbaik. "Peleburan ini berpotensi membatasi ruang gerak Eijkman untuk menjadi lembaga peneliti biologi molekuler terkemuka yang berkontribusi langsung pada kebijakan negara."
Laksana memaparkan penguatan Eijkman di antaranya dengan menawarkan para peneliti non-PNS (Pegawai Negeri Sipil) untuk mengikuti jalur CPNS. Skema ini ditawarkan kepada para non-PNS yang memiliki gelar S3 atau Doktor dengan usia maksimal 45 tahun.
Sedangkan untuk yang di atas 45 tahun dapat mendaftar sebagai Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Dia mengatakan sebanyak 71 peneliti dengan status honorer di LBM Eijkman dan memenuhi kualifikasi pendidikan hingga jenjang S3, saat ini tengah mengikuti proses rekrutmen menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Bagi mereka yang belum menyelesaikan jenjang pendidikan S3 akan direkrut menjadi asisten periset. BRIN juga menawarkan mereka skema untuk melanjutkan pendidikan dengan mekanisme beasiswa berbasis riset.
Laksana mengatakan bagi peneliti yang akan memasuki masa pensiun akan diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan hingga S3 karena BRIN tidak membatasi usia. Laksana menyebut setelah pensiun para peneliti dapat mengajar di jenjang Universitas agar tetap berkontribusi meski sudah pensiun.
Terkait isu pemecatan sejumlah honorer, Handoko menuturkan selama ini tenaga honorer tersebut direkrut oleh lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK) yang sekarang terintegrasi dengan BRIN.
"Banyak peneliti yang statusnya honorer di LBM Eijkman, di mana mereka maksimal mendapat kontrak satu tahun dan tidak punya kepastian hukum,” ujar Laksana.
Dia menuturkan tidak ada pemecatan terhadap sejumlah tenaga honorer, tapi memang kontrak mereka telah berakhir pada Desember 2021. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017, PP Nomor 17 Tahun 2020 dan PP Nomor 49 Tahun 2018 sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014, lembaga pemerintah sudah tidak diperbolehkan merekrut personel sebagai individu, selain dengan skema PNS dan PPPK dengan batas hingga 2023.
Sehingga, honorer hanya bisa dikontrak selama satu tahun anggaran, sehingga setiap akhir tahun pasti harus diberhentikan. "Sehingga, tidak benar bahwa mereka diberhentikan karena ada integrasi. Tetapi, karena sesuai kontrak hanya satu tahun dan sesuai regulasi, kami sudah tidak bisa lagi merekrut honorer," ujarnya.