Panglima TNI Sebut Anggotanya Terseret Kasus Proyek Satelit Kemenhan
Perkara dugaan pelanggaran hukum proyek penyewaan satelit Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tahun 2015 diduga melibatkan beberapa anggotaTentara Nasional Indonesia (TNI). Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan mendapatkan informasi dari Menteri Koordinasi Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Mahfud menyampaikan terdapat indikasi beberapa personil TNI terseret pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemenhan. Andika bertemu dengan Mahfud membahas perkara ini pada Selasa (11/1) lalu. "Oleh karena itu saya siap mendukung keputusan dari pemerintah untuk melakukan proses hukum," kata Andika dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung pada Jumat (14/1).
Andika meminta personel TNI yang terlibat nantinya akan diproses oleh militer di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAMPidmil) yang baru terbentuk pertengahan 2021."Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami," ungkan Andika.
Adapun Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan hari ini surat perintah penyidikan (Sprindik) akan ditandatangani oleh pihak Kejaksaan. Namun, Burhanuddin enggan mengatakan detail dalam kasus ini dan menyerahkan penjelasan tersebut kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).
"Sore nanti kita akan kumpulin teman-teman wartawan juga," ujar Burhanuddin.
Sebelumnya, Jampidsus Febri Adriansyah mengatakan tengah mempelajari beberapa alat bukti, di antaranya berbagai transaksi dan dokumen proyek penyewaan satelit. "Ada beberapa orang juga yang dimintai keterangan," ujar Febrie kepada Katadata.co.id.
Mahfud MD mengungkapkan pemerintah dikenai penalti membayar lebih dari Rp 800 miliar dalam perkara gugatan arbitrase internasional yang dilayangkan dua perusahaan operator satelit yakni Navayo dan Artemis.
Dua perusahaan tersebut menggugat pemerintah Indonesia karena dianggap wanprestasi tak memenuhi kewajiban membayar sewa satelit yang ditempatkan di slot orbit 123 derajat bujur timur.
Mahfud mengatakan, pemerintah baru saja menerima putusan dari Arbitrase Singapura terkait gugatan perusahaan satelit Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta."Kewajiban yang US$ 20 juta ini nilainya mencapai Rp 304 miliar," kata Mahfud.
Sebelumnya, RI juga kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan Avanti Communications Group pada Juli 2019. "Pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar," ujarnya.
Mahfud memperkirakan angka kerugian dari gugatan proyek satelit ini akan bertambah besar karena masih beberapa perusahaan lain meneken kontrak dengan Kemenhan. Mereka yakni AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. "Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata dia.