Gempa bumi Ujung Kulon, Banten, sebesar 6,6 skala magnitudo yang terjadi pada Jumat (14/1) dinilai bukan ancaman sesungguhnya kawasan segmen megathrust Selat Sunda yang merupakan zona sesimik gap di Indonesia.
Koordinator Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono mengatakan bahwa selama ratusan tahun belum terjadi gempa besar di segmen megathrust Selat Sunda. Sehingga, patut diwaspadai potensi gempa besar yang bisa terjadi sewaktu waktu.
"Gempa Ujung Kulon, Banten kemarin sebenarnya bukan ancaman sesungguhnya karena segmen megathrust Selat Sunda mampu memicu gempa dengan magnitudo tertarget mencapai 8,7 dan ini dapat terjadi sewaktu-waktu, inilah ancaman yang sesungguhnya," kata Daryono, Sabtu (15/1).
Dia mengatakan hingga saat ini belum ada teknologi yang bisa memprediksi kapan gempa terjadi. Namun ancaman gempa besar di Selat Sunda patut diwaspadai karena berada di antara dua lokasi gempa besar yang merusak dan memicu tsunami, yaitu Gempa Pangandaran magnitudo 7,7 pada 2006 dan Gempa Bengkulu magnitudo 8,5 pada 2007.
Berdasarkan catatan sejarah gempa dan tsunami, di wilayah Selat Sunda sering terjadi tsunami. Pada tahun 1722, 1852, dan 1958 terjadi tsunami yang disebabkan oleh gempa. Kemudian, pada tahun 416, 1883, 1928, 2018 terjadi tsunami yang disebabkan erupsi Gunung Krakatau. Sedangkan tsunami tahun 1851, 1883 dan 1889 dipicu aktivitas longsoran.
Daryono mengatakan gempa kuat dan tsunami adalah proses alam yang tidak dapat dihentikan, bahkan memprediksi kapan terjadinya pun juga belum bisa.
"Namun, dalam ketidakpastian kapan terjadinya itu kita masih dapat menyiapkan upaya mitigasi konkret seperti membangun bangunan tahan gempa, memodelkan bahaya gempa dan tsunami, kemudian menjadikan model ini sebagai acuan mitigasi," katanya.
Perlunya perencanaan wilayah berbasis risiko gempa dan tsunami, menyiapkan jalur evakusi, memasang rambu evakuasi, membangun tempat evakuasi, berlatih evakuasi/drill secara berkala, termasuk edukasi evakuasi mandiri. Selain itu, BMKG juga akan terus meningkatkan performa peringatan dini tsunami lebih cepat dan akurat
Terjadi 33 Gempa Susulan Dengan Skala Magnitudo 2,5-5,7
BMKG mencatat hingga Sabtu (15/1) pukul 12.00 WIB telah terjadi 33 kali aktivitas gempa susulan di Banten. "Gempa susulan yang terjadi dengan magnitudo terbesar 5,7 dan magitudo terkecil adalah 2,5," kata Daryono.
Gempa yang sebelumnya tercatat bermagnitudo 6,7 yang berpusat di laut pada jarak 132 km arah barat daya Kota Pandeglang, Banten, dengan kedalaman hiposenter 40 km memiliki mekanisme sumber pergerakan naik (thrust fault) akibat adanya proses tekanan yang kuat.
Gempa ini bersifat destruktif atau merusak. Berdasarkan data BPBD Kabupaten Pandeglang wilayah terdampak gempa mencakup 113 Kelurahan dari 17 Kecamatan, menyebabkan lebih dari 700 rumah dan lebih dari 30 fasilitas umum rusak.
Gempa tersebut tidak berpotensi tsunami karena magnitudonya yang masih di bawah ambang batas rata-rata gempa pembangkit tsunami yaitu 7,0 ditambah dengan kedalaman hiposenternya di 40 km.
Data monitoring muka laut tidak menunjukkan adanya catatan perubahan muka laut pasca gempa, ini yang menjadi bukti bahwa gempa yang terjadi tidak memicu tsunami. Jenis gempa berupa gempa dangkal akibat adanya deformasi atau patahan batuan di dalam Lempeng Indo-Australia yang tersubduksi/menunjam ke bawah Selat Sunda-Banten.
Para ahli menyebut jenis gempa ini sebagai intraslab earthquake, ciri gempa intraslab mampu meradiasikan guncangan (ground motion) yang lebih besar dan lebih kuat dari gempa sekelasnya dari sumber lain. Sehingga wajar jika gempa ini memiliki spektrum guncangan yang sangat luas yang terasa hingga Sumatera Selatan dan Jawa Barat.