Prabowo Lakukan Audit Internal Terkait Kasus Proyek Satelit Kemenhan

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/NZ.
Menhan Prabowo Subianto bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/6/2021). Rapat tersebut beragendakan pembahasan anggaran dan rencana pembelian alat utama sistem persenjataan atau alutsista yang menelan anggaran hingga Rp1.750 triliun.
20/1/2022, 17.36 WIB

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto angkat bicara mengenai kasus proyek pengadaan satelit pada slot orbit 123 derajat derajat bujur timur. Prabowo melakukan audit internal di tingkat Kementerian Pertahanan untuk membongkar masalah ini.

Tak hanya itu, ia juga telah meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit.  Proyek satelit Kementerian Pertahanan tahun 2015 menjadi sorotan karena berpotensi merugikan negara lebih dari Rp 800 miliar.

“Sekarang masih berproses,” kata Prabowo usai Rapat Pimpinan Kemenhan Tahun 2022 di Jakarta, Kamis (20/1) dikutip dari Antara.

Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menduga adanya pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemenhan tersebut. Pernyataan ini dilontarkan Mahfud setelah Indonesia kalah dalam dua perkara gugatan arbitrase internasional dan wajib membayar lebih dari Rp 800 miliar.

Dua perusahaan operator satelit yakni Navayo dan Avanti menang atas gugatan arbitrase internasional kepada  pemerintah Indonesia. RI dianggap wanprestasi karena tak memenuhi kewajiban membayar sewa satelit yang ditempatkan di slot orbit 123 derajat bujur timur.

Pada Juli 2019 pun RI kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan operator satelit asal Inggris, Avanti Communications Group, dalam perkara yang sama. Sejak 2017,  Avanti melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena belum memenuhi kewajiban membayar sewa satelit L-band Artemis.

Besarnya kerugian akibat proyek satelit tersebut, membuat Mahfud meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut perkara tersebut. Jaksa Agung ST Burhanuddin pun mengatakan perkara ini segera naik ke penyidikan.

 "Kami telah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat naik penyidikan," kata Burhanuddin.

Meski demikian, Korps Adhyakasa hanya akan menyidik pihak sipil dalam dugaan korupsi proyek tersebut. Burhanuddin mengatakan pengusutan terhadap tersangka militer hanya akan dilakukan jika terjadi koneksitas antara Kejaksaan dan TNI.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa juga mendapatkan informasi Mahfud bahwa ada indikasi beberapa personil TNI terseret pelanggaran hukum dalam proyek satelit Kemenhan. Andika meminta personel TNI yang terlibat nantinya  akan diproses oleh militer di bawah Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (JAMPidmil) yang baru terbentuk pertengahan 2021.

Jenderal TNI Andika Perkasa (Muhammad Zaenuddin|Katadata)

"Jadi kami menunggu nanti untuk nama-namanya yang memang masuk dalam kewenangan kami," kata Andika.

Kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain. Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015. Pada saat itu persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo belum diterbitkan. Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan pun belum memiliki anggaran untuk membiayai sewa satelit. "Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia. Anggaran Satkomham ini tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan "self blocking".

Buntutnya, Avanti mengajukan gugatan karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Menghadapi gugatan arbitrase membuat Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo pada 25 Juni 2018.

Reporter: Antara