Kejagung Periksa Lagi Dirut PT DNK Terkait Korupsi Satelit Kemenhan

Nuhansa Mikrefin/Katadata
Gedung Kejaksaan Agung.
Penulis: Nuhansa Mikrefin
25/1/2022, 07.32 WIB

Kejaksaan Agung kembali melakukan pemeriksaan terhadap saksi inisial SW dari PT Dini Nusa Kusuma terkait (PT DNK) terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) periode 2015-2021.

Inisial SW merujuk pada Surya Witoelar selaku Direktur Utama PT DNK. Surya sebelumnya sudah diperiksa oleh pihak kejaksaan pada 18 Januari 2021 lalu.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi mengatakan pemeriksaan terhadap Surya merupakan kelanjutan dari pemeriksaan sebelumnya. Pemeriksaan yang belum selesai sebelumnya disebut dilanjutkan pada Senin (24/1).

Saat ditanya apakah pemeriksaan Surya signifikan dalam proses penyidikan, Supardi enggan banyak berkomentar. Supardi hanya menyebut semua saksi yang diperiksa ada relevansi dengan pembuktian diyakini ada hubungannya.

"Saya ga bisa berandai-andai lah yang jelas kita periksa apa yang dia lihat, dengar dan alami. Dikaitkan dengan bukti-bukti yang ditemukan," ujar Supardi saat ditemui Katadata.co.id, Senin (24/1) malam.

Kejaksaan sebelumnya menggeledah apartemen milik Surya. Kejaksaan juga telah menggeledah dua kantor DNK yang terletak di Jalan Prapanca Raya, Jakarta Selatan, dan Panin Tower Senayan City Lantai 18A Jakarta Pusat, pada Selasa (18/1).

Dari hasil penggeledahan, Kejaksaan menyita tiga kontainer plastik dokumen dan 30 barang bukti elektronik. "Kami harus menunggu hasil pemeriksaan forensik," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi, saat ditemui Katadata.co.id pada Selasa (18/1) malam.

PT DNK merupakan pemegang Hak Pengelolaan Filing Satelit Indonesia untuk dapat mengoperasikan Satelit atau menggunakan Spektrum Frekuensi Radio di Orbit Satelit tertentu.

Pengusutan kasus dugaan korupsi dalam proyek satelit Kemenhan ini bermula dari laporan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ke Kejaksaan belakangan ini.

Mahfud menjelaskan kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Kemenhan mengajukan diri untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT, guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015.

Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016. Sehingga saat Kemenhan membuat kontrak satelit dengan Avanti pada 2015, anggaran untuk membiayai sewa satelit belum turun.

"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.

Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia. Anggaran Satkomham ini tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan "self blocking".

Reporter: Nuhansa Mikrefin