Kejaksaan Agung menerima dokumen pengadaan pesawat Garuda Indonesia jenis ATR 72-600 dari Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra. Dokumen itu diperlukan untuk mengusut dugaan korupsi pengadaan pesawat Garuda.
"Dirut Garuda sudah menyerahkan dokumen tersebut," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi, pada Rabu (2/2) malam.
Kejaksaan sebelumnya meminta keterangan kepada Irfan sebagai saksi pada 24 Januari lalu. Selain Irfan, Kejaksaan juga memeriksa petinggi di maskapai pelat merah ini yakni Direktur Utama Citilink Indonesia periode 2012-2014 Muhammad Arif Wibowo, dan Vice President Garuda Indonesia Mitra Piranti. Selain itu kejaksaan masih menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan Komisaris Garuda Peter Frans Gontha yang berhalangan hadir pada 28 Januari 2022.
Kejaksaan meminta keterangan mereka terkait mekanisme pengadaan dan pembayaran pesawat udara jenis ATR 72-600.
Supardi berharap tim penyidik dapat segera melakukan evaluasi gelar perkara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pesawat Garuda. Terkait dengan potensi tersangka Supardi masih enggan berkomentar banyak. "Mudah-mudahan nanti segera kita dapat konklusi," ujar Supardi.
Kronologi Pengadaan ATR 72-600
Berdasarkan dokumen pengadilan, pesawat ATR 72-600 merupakan jenis pesawat turboprop yang pertama kali diadakan di masa kepemimpinan mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar pada 2012. Dia dibantu Hadinoto Soedigno yang saat itu menjabat sebagai Direktur Produksi Citilink Indonesia. Hadinoto yang juga terpidana dalam kasus suap pengadaaan pesawat Garuda membantu Emirsyah dalam penyiapan analisis perencanaan bisnis dan model bisnis.
Pada 24 Juli 2012, Emirsyah mengadakan rapat bersama Hadinoto dan juga Muhammad Arif Wibowo yang saat itu menjabat Dirut Citilink membahas kebutuhan pengadaan 50 unit tipe pesawat turboprop yang diproduksi ATR dan Bombardier.
Pada 18 September 2012, Direksi Citilink menyimpulkan dibutuhkan 50 unit pesawat dengan rincian 25 firm purchase dan 25 options. M Arif Wibowo kemudian mengeluarkan Surat Keputusan tentang pembentukan panitia tim pengadaan pesawat propeller Citilink pada 28 September 2012.
Setelah membahas penawaran terbaik dari pihak pabrikan, Citilink mengumumkan pesawat turboprop dari ATR sebagai pemenang pada 7 Februari 2013. M Arif Wibowo mewakili Citilink dan Christian Labarthe yang mewakili ATE kemudian menandatangani Letter of Intent (LoI).
Setelah penandatanganan LoI, ATR meminta jaminan kepada Garuda. Namun, Dewan Komisaris Garuda menolak memberi persetujuan setelah Emirsyah memberikan laporannya.
Emirsyah lantas memutuskan pengoperasian ATR 72-600 diambil alih oleh Garuda lantaran mempertimbangkan kondisi keuangan Citilink yang masih belum kuat. Dewan Komisaris Garuda kemudian kembali tidak setuju dan akhirnya Emirsyah tetap menindaklanjuti pengadaan pesawat ATR 72-600.
Garuda dan ATR kemudian menandatangani kontrak jual beli atas pembelian 5 unit form ATR 72-600 dan 10 unit options ATR 72-600 pada 6 September 2013. Garuda kemudian membayar uang muka sebsar US$ 1,4 juta untuk pembelian 5 unit ATR. Adapun 16 unit lainnya disewa oleh Garuda dari Nordic Aviation Capital dengan sewa US$ 200 ribu per unit pesawat.
Belakangan diketahui Emirsyah kemudian menerima uang dari pembelian pesawat ATR 72-600 dari ATR melalui Connaught International Pte Ltd milik Soetikno Soedarjo. Emirsyah menerima uang senilai Sin$ 1.181.763,00 dari Soetikno untuk melunasi tagihan apartemen. Kemudian berupa Sin$ 6.470 dan Sin$ 975 dalam rangka penutupan rekening atas nama Woodlake Internasional di UBS Singapura.
Uang tersebut diberikan dengan kegiatan jual beli fiktif apartemen Silversea antara Emirsyah dengan Innospace Investment Holding, Ltd. pada 14 Maret 2014.
Selain uang, Emirsyah mendapat fasilitas dari Soetikno berupa penginapan di vila No.34, vila No.12 dan vila No.35 di Bvlgari Resort Bali dengan total biaya sejumlah Rp 69.794.797,00. Emirsyah juga mendapat jamuan makan malam di four seasons hotel; dan, Penyewaan jet pribadi Bali ke Jakarta seharga US$ 4.200,00.
Ada tiga terpidana dalam kasus suap pengadaan pesawat Garuda yang diusut KPK. Mereka yakni Emirsyah Satar, Soetikno Soedarjo dan Hadinoto Soedigno.
Putusan pengadilan tingkat kasasi memvonis Direktur Utama Emirsyah Satar dengan hukuman penjara delapan tahun. Sejak Februari 2021, Emirsyah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
Seperti halnya Emirsyah, Soetikno Soedarjo saat ini menjalani hukuman dalam kasus korupsi pengadaan pesawat Garuda. Soetikno mendapat hukuman yang lebih rendah, yakni enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Adapun Hadinoto meninggal saat menjalani hukuman penjara pada Desember 2021. Pada Juni 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Hadinoto terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.