PKS Ungkap Alasan di Balik Sikap Konsisten Jadi Opisisi

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu (kiri) didampingi Sekjen Aboe Bakar Al Habsyi (kanan) menyanyikan mars PKS saat pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PKS 2022 di Jakarta, Senin (31/1/2022). Rakernas PKS 2022 bertemakan 'Semangat Transformasi dan Kolaborasi-PKS Pelayan Rakyat'.
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Agustiyanti
3/2/2022, 22.05 WIB

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara konsisten menjadi partai politik oposisi pemerintah. Presiden PKS Ahmad Syaikhu mengatakan, keputusan PKS menjadi partai oposisi merupakan hasil musyawarah Majelis Syura. 

"Pilihan oposisi ini bukan asal beda, tetapi pilihan politik kolektif yang secara sadar kami putuskan bersama," ujar Ahmad dalam penutupan rapat kerja nasional (Rakernas) pada Rabu (2/2).

Ahmad mengatakan, sikap PKS sebagai oposisi pemerintahan merupakan ijtihad politik. PKS ingin menjadi kekuatan penyeimbang pemerintah agar roda pemerintahan berjalan dijalur yang tepat.

Menurut Ahmad, tanpa adanya kontrol dari oposisi maka demokrasi di Indonesia perlahan akan mati.  "Sikap oposisi PKS di parlemen terbukti mendapatkan dukungan yang banyak dari luar parlemen," ujar Ahmad.

Dia juga mengklaim bahwa sikap oposisi PKS yang konsisten menolak UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) membuahkan hasil dukungan Mahkamah Konstitusi (MK). MK memang memutuskan UU Cipta Kerja inskonstitusional bersyarat pada November 2021 lalu. UU ini disebut MK cacat formil karena tidak sesuai dengan tata cara pembentukan undang-undang.

PKS juga menjadi satu-satunya fraksi di DPR yang menolak disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) dalam rapat paripurna DPR pada 18 Januari lalu.

Ahmad mengatakan, UU IKN bermasalah baik secara formil atau prosedural maupun secara material atau substansial. Ia menyebut bahwa kebijakan pemindahan ibu kota tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa.

"PKS memandang bahwa RUU IKN dibahas secara tidak memadai, secara ugal-ugalan, secara serampangan dan secara asal-asalan," ujar Ahmad.

 Menurut dia,  pemerintah seharusnya menggelar diskusi dan menyerap aspirasi masyarakat secara terbuka. Penyerapan aspirasi dapat dilakukan pada kampus, organisasi masyarakat, komunitas masyarakat adat, organisasi bisnis pada pelaku usaha, TNI-Polri, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan serikat buruh.

Tidaklah bijak bagi pemerintah selaku pemimpin jika memaksakan kehendaknya dan kelompoknya tanpa mempertimbangkan suara rakyat yang dipimpin. Ia menyebut memindahkan ibu kota harus melalui perhitungan dari seluruh variabel.

Beberapa variabel yang disebut oleh Ahmad adalah dampak terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), masyarakat sekitar, hingga kehidupan rumah tangga masyarakat. "Ini nanti dibayar dengan pajak-pajak rumah tangga yang pada akhirnya juga akan menjadi penderitaan bagi keluarga-keluarga Indonesia," ujar Ahmad.

Pemindahan ibu kota , menurut dia, juga akan berdampak pada ekosistem satwa dan fauna sehingga perlu diperhitungkan secara matang dalam mengambil kebijakan pemindahan ibu kota. 

Reporter: Nuhansa Mikrefin