Pendelegasian sebagian ruang kendali udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna dalam kesepakatan Flight Information Region (FIR) Indonesia dan Singapura yang diteken pekan lalu masih menjadi polemik. Namun, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menegaskan bahwa ini menguntungkan Tanah Air.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan, hasil perundingan FIR Indonesia - Singapura sudah maksimal, dengan mengedepankan aspek pelayanan dan keselamatan.
“Semua dengan menjaga prinsip-prinsip hubungan luar negeri yang harmonis dan saling menguntungkan," kata Novie dalam diskusi virtual bertajuk ‘Penataan Flight Information Region (FIR)’ di Jakarta, Jumat.
Selain itu, perjanjian itu merupakan hasil dari 40 kali lebih perundingan yang sangat alot dan terperinci dengan Singapura.
Ia mengatakan, FIR Realignment membahas pengelolaan ruang udara yang mencakup Kepulauan Riau, Tanjung Pinang, Serawak, dan Semenanjung Malaya seluas 1.825 kilometer.
Menurut dia, nota kesepahaman atau MoU Indonesia - Singapura membuka keuntungan lebih besar bagi Nusantara dalam hal pengendalian ruang udara di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
Ia pun memerinci keuntungan yang diperoleh Indonesia dari perjanjian itu, yakni:
1. Dari aspek pengakuan ruang udara
Luasan 249.575 kilometer persegi ruang udara Indonesia yang selama ini masuk dalam FIR Singapura akan diakui secara internasional sebagai bagian dari FIR Indonesia (FIR Jakarta).
2. Dari sisi keselamatan penerbangan
Dapat menghindari fragmentasi/segmentasi layanan, teknis operasional seperti pengaturan inbound/outbond flow traffic, jalur penerbangan hingga efisiensi pergerakan, serta kepatuhan standary ICAO (Annex 11 dan resolusi ICAO Assembly ke 40).
3. Dari segi dukungan kerahasiaan dan keamanan kegiatan pemerintah Indonesia
Novie menjelaskan, apabila pesawat take off dan landing di batas terluar wilayah Tanah Air, nantinya diplomatic clearance dikeluarkan oleh Indonesia. Selain itu, pesawat Indonesia tak perlu izin dari negara lain saat patroli.
“Dengan demikian, keselamatan dan kerahasiaan bisa ditangani Indonesia sendiri,” ujar Novie.
4. Terjalinnya kerja sama sipil - militer di air traffic management (Civil-Military Aviation Cooperation) Indonesia dan Singapura, serta penempatan personil di Singapore ATC Centre
5. Indonesia memiliki kendali pada delegasi layanan melalui evaluasi operasional
6. Dari sisi ekonomi negara
Peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) berupa pungutan jasa pelayanan navigasi penerbangan
Terkait pendelegasian kepada Singapura, yakni area sekitar 29% di bawah ketinggian 37 ribu kaki atau di sekitar Bandara Changi, ini karena pertimbangan keselamatan penerbangan.
“Terdapat wilayah yang tetap dilayani oleh AirNav Indonesia untuk keperluan penerbangan seperti di Bandara Batam, Tanjung Pinang, dan lainnya. Ini sudah sesuai dengan pasal 263 UU nomer 1 Tahun 2009, dan ANNEX 11 article 2.1.1 konvensi Chicago 1944 serta resolusi ICAO Assembly ke 40," kata Novie.
Ia menyampaikan, pendelegasian tersebut tidak berarti pemerintah Indonesia mengabaikan kedaulatan. Dia menegaskan bahwa ini dipersiapkan sejak lama.
Sekitar dua tahun lalu, AirNav membuat simulator pelayanannya. “Traffic di upper Natuna maupun di Riau sudah diinjeksi di simulator," katanya.
Kemenhub pun sudah melatih sumber daya manusia (SDM) di tingkat bawah maupun atas. “Mereka nanti memiliki rating. Ini penting untuk Air Traffic Services,” ujarnya.
Indonesia juga sudah menggunakan standar teknologi yang sama dengan Singapura dan Malaysia. Ini termasuk penggunaan satellite-bassed navigation, VHF ER dan radar, serta komunikasi secara digital.
Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Abdul Kadir Jaelani pun menyampaikan, perjanjian itu mengembalikan 249.575 kilometer persegi ruang udara yang selama ini masuk dalam pengelolaan Singapura. Menurutnya, itu merupakan kemajuan bagi Indonesia.
“Pendelegasian memang terjadi, namun hal itu dilakukan secara terbatas. Ini semata-mata atas pertimbangan teknis operasional terutama aspek keselamatan,” kata Abdul.
Berdasarkan Konvensi Chicago 1944 tentang daulat atas ruang udara, Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 secara tegas menyatakan bahwa negara-negara diharapkan menekankan aspek teknis dan operasional penerbangan dari pada mengikuti batas wilayah suatu negara, dalam menetapkan FIR.
“Di sini jelas bahwa standar yang diterapkan yakni aspek keselamatan. Ini satu hal yang objektif,” ujar Abdul.