Lebih dari 300 ribu orang menekan petisi menolak petisi tolak JHT cair usia 56 tahun pada laman change.org hingga Senin (14/2). Petisi ini merupakan respons masyarakat atas aturan baru Kementerian Ketenagakerjaan yang hanya mengizinkan pencairan JHT dilakukan saat pekerja berusia 56 tahun, termasuk bagi yang mengundurkan diri atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Mengutip laman change.org, petisi yang dimulai oleh Suhari Ete ini mengajak para pekerja atau buruh untuk menolak Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Ia menilai peraturan ini merugikan karena buruh yang mengundurkan diri atau di PHK baru dapat mengambil dama JHT saat usia pensiun.
"Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK. Padahal saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp 550 triliun," ujar Ete dalam petisi yang dibuat pada Jumat (11/2).
Menurut dia, pekerja sangat membutuhkan dana JHT untuk modal usaha setelah di PHK. Di aturan sebelumnya, pekerja yang terkena PHK, mengundurkan diri, atau habis masa kontraknya dapat mencairkan JHT setelah 1 bulan resmi tidak bekerja.
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebelumnya juga menyatakan menolak aturan pencairan JHT yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka bahkan mengancam akan menggelar demonstrasi jika Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 ini tak dicabut. “Kalau tidak didengar, kami akan turun ke jalan di Kemenaker,” kata Iqbal dalam konferensi pers virtual, Sabtu (12/2).
Iqbal memberikan beberapa alasan mengapa KSPI menolak aturan ini. Pertama adalah dampak dari pandemi terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masih terasa. Di sisi lain, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) belum berjalan lantaran perlu aturan teknis. “JHT itu pertahanan terakhir buruh yang kena PHK akibat pandemi,” kata Iqbal.
Faktor kedua, KSPI menganggap Kemenaker tak mematuhi arahan Jokowi. Iqbal mengatakan tahun 2015 lalu, Menaker yang saat itu dijabat Hanif Dhakiri pernah menetapkan JHT baru bisa diambil setelah 10 tahun iuran. Namun belakangan, aturan tersebut direvisi karena arahan presiden.
Faktor berikutnya adalah kebijakan ini diputuskan saat kondisi perekonomian masih belum menentu. Iqbal mengatakan jika buruh tak bisa mengambil JHT, maka kondisi ini bisa memukul ekonomi RI.
“Nanti saja kalau sudah layak dan daya beli meningkat,” katanya.
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) juga memprotes aturan baru ini. Hal ini lantaran JHT adalah hak pekerja karena iuran dibayarkan oleh pegawai dan pemberi kerja. Komposisi iuran JKT saat ini dibayarkan pekerja lewat pemotongan gaji sebesar 2% dan 3,7% dibayar pemberi kerja. “Tidak ada alasan menahan uang pekerja karena JHT adalah dana milik nasabah, bukan pemerintah,” kata Mirah dalam keterangan tertulis.
Menanggapi penolakan dari banyak pihak, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan kembali menyelenggarakan sosialisasi dan dialog dengan para pemimpin serikat pekerja atau buruh terkait beleid baru tersebut. Meski demikian, Kementerian Ketenagakerjaan memastikan penyusunan beleid yang mengatur pencairan JHT baru dapat dilakukan saat berusia 56 tahun sudah melalui proses dialog dengan para stakeholders.
"Karena terjadi pro-kontra terhadap terbitnya Permenaker ini, maka dalam waktu dekat Menaker akan melakukan dialog dan sosialisasi dengan stakeholder, terutama para pimpinan serikat pekerja/buruh," ujar Kepala Biro Humas Kemnaker Chairul Fadhly Harahap dalam siaran pers, Sabtu (12/1).