Ombudsman RI mengadakan pertemuan membahas aturan persyaratan BPJS Kesehatan dalam pelayanan pertanahan. Persyaratan ini menuai kritik dan dianggap berpotensi maladministrasi dalam pelayanan publik.
Kepala Kantor Perwakilan Ombudsman Sulawesi Utara, Mastri Susilo menyebut persyaratan ini dapat membuat masyarakat yang belum terdaftar sebagai peserta aktif BPJS Kesehatan tak dapat menerima pelayanan publik. Dia menyarankan, seharusnya masyarakat mendapat opsi untuk menyampaikan memiliki asuransi di luar BPJS Kesehatan. “Jadi jangan dipersyaratkan harus BPJS (Kesehatan),” ujar Mastri dalam Dialog Pelayanan Publik dengan Ombudsman RI, Rabu (23/2).
Mastri berpendapat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membuat masyarakat dipaksa untuk ikut BPJS Kesehatan. Dia menyarankan pejabat publik berhati-hati dalam mengimplementasikannya. "Berpotensi terjadi maladministrasi dalam pelayanan publik," kata dia.
Beberapa notaris juga menyampaikan keberatan dengan kewajiban persyaratan kepesertaan BPJS Kesehatan dalam transaksi jual beli tanah yang berlaku mulai 1 Maret 2022.
Seorang notaris asal Surabaya, Jawa Timur, Henny, menyebut kebanyakan kliennya yang merupakan masyarakat dengan perekonomian menengah ke atas lebih banyak menggunakan asuransi swasta. Kliennya kemungkinan mendaftar kepesertaan BPJS untuk memenuhi aturan, tapi tak berniat mengikuti program asuransi BPJS.
“Ada kekhawatiran apakah ada sanksi bila tak membayar iuran setelah proses transaksi jual beli tanahnya beres,” ujar Henny.
Notaris bernama Risbert menilai aturan ini akan menambah beban pekerjaan notaris. Risbert menyebut notaris sudah terbebani dengan beberapa hal mulai dari aplikasi pelaporan Go Anti Money Laundering (GoAML) dan perpajakan.
Dia menyarankan seharusnya pemerintah mempermudah birokrasi di masa pandemi. "Saya hanya memberi pandangan atau minta ketegasan bagaimana sistem ini dibuat praktis dan juga dijamin tidak ada sanksi dari aturan ini,” ujar Risbert.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan, David Bangun menegaskan denda tidak akan berlaku selama terjadi penunggakan. Hanya saja ketika hendak mengaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatan maka yang bersangkutan perlu membayar iuran yang selama ini ditunggak.
David memberi contoh seseorang terdaftar di Kelas 2 BPJS Kesehatan yang iurannya sebesar Rp 100 ribu per bulan sudah tidak aktif selama 6 bulan. Jika ingin mengaktifkan kembali, maka yang bersangkutan hanya perlu membayar iuran sebesar Rp 100 ribu dikalikan 6 bulan tunggakannya. “Jadi tidak ada denda yang dikenakan,” ujar David.
David menjelaskan denda hanya berlaku jika seseorang hendak melakukan rawat inap setelah sekian lama menunggak iuran. Rumus denda tersebut menurut david adalah 5% dikali bulan keterlambatan dan dikali biaya perawatan inap.
Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Kementerian ATR/BPN Suyus Windayana mengatakan persyaratan kepesertaan BPJS Kesehatan tidak akan mengubah skema dan tidak akan mempersulit transaksi pertanahan. BPN akan tetap memproses transaksi pertanahan meski pemohon belum terdaftar Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Namun, berkas tersebut akan ditahan hingga pemohon terdaftar aktif dalam BPJS Kesehatan. "Tetap diproses, nanti pada saat pengambilan bisa ditambahkan ke lampiran persyaratan itu," kata dia.
Melalui aturan ini, Suyus berharap kepesertaan BPJS Kesehatan dapat bertambah hingga satu juta orang. Hal tersebut berkaca dari catatan transaksi jual beli tanah per tahun di Indonesia.