Sejarah Dinamika Penundaan Pemilu di Indonesia

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/wsj.
Warga dengan sarung tangan plastik sekali pakai di tangannya memasukan surat suara ke dalam kotak suara di TPS 02, Desa Pananjung, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Rabu (9/12/2020). Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) meminta jajarannya mengawasi pembuangan alat pelindung diri (APD) yang digunakan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam pelaksanaan pemungutan suara di tengah pandemi COVID-19 yang digelar serentak di 298.939 TPS dan 270 daerah.
8/3/2022, 18.04 WIB

Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 1945, tercatat sudah dua belas kali masyarakat menyaksikan Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan secara nasional. Pesta demokrasi ini untuk pertama kali digelar pada 1955, dan penyelenggaraannya menjadi pondasi bagi pemilu-pemilu berikutnya. 

Mengutip situs resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, keinginan untuk menyelenggarakan Pemilu di Indonesia pertama kali tercantum pada Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta  yang diteken pada 3 November 1945. 

Maklumat ini mendorong pembentukan partai-partai politik peserta Pemilu, dan pemungutan suara memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada Januari 1946. Maklumat X juga melegitimasi partai politik yang terbentuk selama masa penjajahan Belanda dan Jepang untuk menjadi peserta Pemilu.

Namun, rencana tersebut kandas lantaran tidak ada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan Pemilu. Dua faktor lain yang menghalangi rencana Pemilu 1946 terwujud adalah rendahnya stabilitas keamanan negara, dan pemerintah yang masih fokus untuk mempertahankan kemerdekaan karena masih adanya ancaman dari pihak asing.

Pemilu akhirnya baru dapat dilaksanakan sembilan tahun kemudian, pada 1955. Pemilihan untuk anggota DPR dilaksanakan pada 29 September 1955, sementara untuk anggota Konstituante baru dilaksanakan pada 25 Desember 1955.

Akan tetapi, bukan berarti pemerintahan saat itu berpangku tangan. Sejumlah legislasi diterbitkan sebagai pendukung digelarnya Pemilu untuk pertama kali. Misalnya pembentukan Undang-Undang (UU) No. 27 tahun 1948 tentang Pemilu, yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 tentang Pemilu. Selanjutnya pada pasal 57 Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang menyebutkan anggota DPR dipilih rakyat melalui pemilihan umum.

Meski begitu, undang-undang mengenai pelaksanaan Pemilu baru selesai dibahas pada 1953 dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. Undang-undang ini kemudian menjadi payung hukum pelaksanaan Pemilu 1955, yang juga memperkenalkan asas Luber, yaitu akronim dari langsung, umum, bebas dan rahasia.

Setidaknya 30 partai politik dan individu berkompetisi untuk duduk di kursi anggota DPR dan Konstituante. Pemilu perdana ini sukses digelar dengan tiga partai politik meraih suara terbanyak, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Nahdlatul Ulama (NU).

Setelah itu, meski Presiden Soekarno telah melantik Panitia Pemilihan Indonesia II, Pemilu selanjutnya tak kunjung terlaksana. Akibat terjadinya dinamika politik, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah pernyataan politik yang berkekuatan hukum, kemudian dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dekrit tersebut menyatakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara, serta Konstituante dan DPR hasil pemilu diganti menjadi DPR-GR. Seiring dekrit tersebut, Presiden Soekarno mengubah kabinetnya menjadi Kabinet Gotong Royong dan mengangkat Ketua DPR, MPR, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) sebagai menteri, yang berperan sebagai pembantu Presiden. 

Genap 16 tahun setelah Pemilu perdana, Pemilu selanjutnya digelar pada 1971 dengan dasar UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum untuk anggota-anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.

Azas Pemilu 1971 diatur dalam ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 agar Pemilu bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia. Sementara untuk pemungutan suara, dikeluarkan ketetapan MPRSNomor XLII/MPRS/1968 tentang jadwal pada 5 Juli 1971.

Penyelenggaraan Pemilu dilakukan empat tahun setelah Presiden Soeharto memimpin. Kali ini, peserta terdiri dari 10 partai politik dan hanya memperebutkan kursi anggota DPR. Kala itu, mayoritas kursi dikuasai Golongan Karya dengan total 236 dari 360 kursi. Disusul Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dengan perolehan 54 dan 24.

Kemudian pada 1973 pemerintah menerapkan kebijakan fusi partai, yaitu dengan mengerucutkan jumlah partai menjadi dua ditambah satu Golongan Karya (Golkar). Lima partai; Partai Nasional Indonesia (PNI), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) digabungkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Sementara empat partai lainnya; NU, Parmusi, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tujuannya adalah untuk merampingkan kontestasi dalam pemilu.

Setelah itu, Pemilu berjalan normal secara bertahap lima tahun sekali selama 20 tahun, dari 1977 hingga 1997.

Selanjutnya, siklus Pemilu kembali mengalami disrupsi pada 1999, akibat terjadinya perubahan stabilitas politik kekuasaan, dengan runtuhnya Orde Baru pada 1998.

Melalui amandemen UUD 1945, pelaksanaan Pemilu yang seharusnya digelar 2002 dipercepat dan dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Pemilu ini digelar untuk memilih anggota legislatif dari DPR, DPD, dan DPRD.

Komposisi partai peserta pun mengalami lonjakan, dari yang semula hanya tiga partai, menjadi 48 partai politik.

Setelah itu penyelenggaraan Pemilu kembali berjalan sesuai daur lima tahun sekali. Akan tetapi, mulai Pemilu 2004, pemungutan suara dilakukan tak hanya mencari anggota legislatif. Sebab, dengan adanya UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka masyarakat sejak saat itu dalam setiap penyelenggaraan Pemilu dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. 

Belakangan ini dinamika politik Indonesia diwarnai polemik, lantaran Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengusulkan agar Pemilu 2024 ditunda, dengan alasan negara masih dilanda pandemi Covid-19 dan fokus pada pemulihan perekonomian.

Wacana ini didukung beberapa ketua umum partai lainnya yakni Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.

Menanggapi hal ini, pakar hukum dan tata negara Yusril Ihza Mahendra, mengatakan penundaan Pemilu harus memiliki landasan konstitusional. Ia menyebut cara paling realistis adalah dengan melakukan amandemen UUD 1945.

“Tanpa amandemen, maka penundaan pemilu adalah pelanggaran nyata terhadap UUD 45. Risiko pelanggaran terhadap UUD 45 adalah masalah serius,” ujar mantan Menteri Hukum dan HAM ini dalam keterangannya yang dikutip Selasa (8/3).

Penundaan Pemilu tanpa landasan konstitusi disebut Yusril menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Dalam beleid tersebut tertuang bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Tak hanya itu, konsekuensi hukum dari penundaan Pemilu adalah jabatan yang diisi berdasarkan Pemilu sebelumnya juga lantas berakhir. Akibatnya, akan muncul kekosongan kekuasaan baik dari eksekutif maupun legislatif. 

“Mulai dari Presiden sampai anggota DPRD telah menjadi mantan pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama jabatannya,” ujar Yusril.

Hal senada juga dikatakan pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar. Ia menyebut amandemen UUD 1945 dapat diubah dengan mudah oleh MPR. Selain itu, ada pula beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk menunda Pemilu dalam keadaan darurat seperti Dekrit Presiden. Opsi lainnya adalah menyerahkan sepenuhnya keputusan penundaan Pemilu kepada keputusan pengadilan seperti Mahkamah Konstitusi (MK). 

Namun, dari seluruh opsi tersebut Zainal menyebut tidak ada yang dapat dibenarkan. Hal ini lantaran ide untuk mengubah aturan yang berlaku harus memiliki alasan yang dapat diterima.

“Dekrit sendiri kondisinya ya sangat perdebatan apakah dia bisa menjadi sumber hukum dalam konteks hukum Indonesia saat ini,” ujar Zainal melalui video dalam kanal YouTube miliknya dikutip pada Selasa (8/3).


Reporter: Nuhansa Mikrefin