Supersemar menjadi bagian dari catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Sebab, keberadaan mengubah wajah politik Indonesia secara drastis. Walaupun menjadi bagian dari sejarah, namun hingga saat ini naskah asli Supersemar belum diketahui keberadannya.
Dalam situs kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, disebutkan bahwa ada pihak yang menyatakan bahwa Supersemar kini berada di salah satu bank di luar negeri. Namun penyataan ini masih belum diyakini karena tidak ada bukti otentik yang membenarkannya.
Ada juga yang menyebutkan Supersemar berada di dalam negeri, yang konon disimpan oleh mantan Presiden Soeharto. Ketidakjelasan terkait keberadaannya, membuat Supersemar menjadi salah satu sejarah Indonesia yang masih gelap.
Latar Belakang Supersemar
Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.
Pada akhirnya, Supersemar justru melemahkan kekuasaan Presiden Soekarno, karena langkah-langkah strategis yang diambil oleh Letjen. Soeharto pada akhirnya mengikis kekuasaan Soekarno. Beberapa langkah strategis tersebut antara lain, penangkapan 15 menteri dalam kabinet yang sebelumnya dibentuk Soekarno, membubarkan Tjakrabirawa, serta mengontrol media di bawah Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Puspen TNI).
Mengutip dari sebuah tulisan berjudul “Supersemar: Sejarah dalam Balutan Kekuasaan” yang dimuat dalam Wacana Bernas Jogja tahun 2014, latar belakang Supersemar ini diawali dengan persitiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI-AD. Peristiwa tersebut diikuti dengan pembantaian massal yang berlangsung antara Oktober hingga Desember 1965.
Kekacauan yang terjadi di akhir Septermber 1965 berhasil dikendalikan oleh Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang saat itu dijabat oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto. Tak hanya itu, kesigapan Soeharto mengatasi kondisi sejak 1 Oktober 1965 membuatnya diserahi tugas sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Karir Soeharto dalam bidang militer meningkat, beliau kemudian dilantik menjadi Panglima TNI-AD dengan pangkat Letjen.
Jumat, 11 Maret 1966 terjadi aksi demo mahasiswa dan ada juga sekelompok pasukan tak dikenal tanpa atribut bergerak di sekitar Monas. Kejadian itu, terjadi saat Presiden Soekarno sedang memimpin Sidang Kabiner Dwikora Yang Disempurnakan di Istana Merdeka.
Melihat situasi tersebut, akhirnya presiden meninggalkan sidang dan terbang menuju Istana Bogor menggunakan helikopter. Di sore harinya, datanglah tiga orang jenderal yang sebelumnya sudah berjumpa dengan Letjen Soeharto yang pada saat itu tidak hadir sidang kabinet karena sakit.
Di Istana Bogor, tiga jenderal tersebut bernama Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf, berhasil menyakinkan presiden untuk mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengamankan situasi yang semakin memanas.
Setelah surat tersebut ditandatangani dan diterima Soeharto, politik Indonesia berubah. Tak sampai 24 jam, Soeharto langsung membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri. Tak hanya itu, Soeharto juga menyingkirkan orang-orang yang pro Soekarno dari lingkaran kekuasaan.
Supersemar ini menjadi tanda perubahan besar pada orientasi beragam kebijakan politik Indonesia. Sejak saat itulah, secara perlahan namun pasti kekuasaan Soekarno mulai diruntuhkan. Kebijakan-kebijakan politik yang bersifat non teknis militer yang seharusnya menjadi wewenang presiden diambil alih Soeharto.
Khawatir, jika surat perintah ini sewaktu-waktu dicabut, maka MPRS yang saat itu diisi para pendukung Soeharto kemudian mengesahkan Supersemar menjadi Ketetapan MPRS pada 1967.
Tujuan Supersemar
Secara fisik Supersemar memang belum ditemukan. Namun, sebuah tulisan berjudul “Supersemar: Sejarah dalam Balutan Kekuasaan” yang dimuat dalam Wacana Bernas Jogja tahun 2014 , menyebutkan bahwa Presiden Sokarno menegaskan bahwa tujuan Supersemar yang diberikan kepada Letjen Soeharto yaitu untuk mengatasi kondisi dan menjaga kewibawaan presiden. Pernyataan tersebut diutarakannya dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)" tanggal 17 Agustus 1966.
Dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno juga mengucapkan terima kasih kepada Soeharto karena telah melaksanakan tugas dengan baik. Namun Soekarno sebagai pemberi perintah juga menekankan bahwa Supersemar bukan peralihan kekuasaan.
Apabila Supersemar dianggap sebagai perintah untuk mengalihkan kekuasaan dan pelimpahan wewenang, tentu hal tersebut merupakan sebuah kekeliruan. Supersemar tidak bisa menjadi legitimasi bagi pengambilan keputusan politis yang dilakukan Soeharto, apalagi jika dijadikan sebagai tonggak berdirinya Orde Baru.
Upaya untuk menegaskan bahwa Supersemar bukan merupakan alat politik sebenarnya sempat dilakukan. Pada 13 Maret 1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah, yang memuat tiga pokok penting. Pertama, mengingatkan Soeharto bahwa Supersemar merupakan perintah yang bersifat teknis dan administratif, bukan perintah politik apalagi penyerahan kekuasaan.
Kedua, Presiden Soekarno memerintahkan agar Soeharto tidak bertindak di luar batas kewenangannya dalam hal pemulihan keamanan. Ketiga, sebagai pengemban Supersemar, Soeharto diminta untuk segera menghadap Presiden Soekarno.
Mengutip buku "A.M Hanafi Menggugat: Kudeta Jend Soeharto dari Gestapu ke Supersemar", surat perintah tersebut disampaikan kepada Soeharto oleh Wakil Perdana Menteri (Waperdam) untuk Urusan Umum Johannes Leimena. Namun, Soeharto menolak surat perintah tersebut dan tetap berpegang pada Supersemar, yang mengizinkannya untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, demi terciptanya keamanan dan ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan. Soeharto juga menolak untuk menghadap Presiden dengan alasan bersiap menghadiri Sidang Panglima Angkatan Bersenjata yang akan dilangsungkan 14 Maret 1966.
Sama seperti Supersemar, keberadaan Surat Perintah 13 Maret 1966 pun hingga kini tidak ditemukan. Bahkan, meski ada kesaksian terkait dokumen tersebut, keberadaannya tidak pernah sampai ke pers ataupun publik. Sehingga, ada keraguan terkait keberadaan surat perintah ini.
Supersemar pada akhirnya menjadi titik balik kekuasaan Soekarno yang terus merosok. Sementara itu, nama Soeharto terus naik daun. Hal tersebut ternyata turut mempengaruhi arah politik Indonesia yang awalnya berorientasi ke kiri menjadi ke kanan. Dari anti Neokolonialisme-Imperialisme (Nekolim) menjadi pro modal asing. Supersemar kemudian menjadi alat politik legitimasi kekuasaan selama 32 tahun lamanya.
Isi Supersemar
Menurut penjelasan dalam buku “Kudeta Supersemar: Penyerahan atau Perampasan Kekuasaan?”, secara garis besar, isi supersemar yaitu pemberian wewenang dari Presiden Soekarno kepada Soeharto. Adapun wewenang yang diberikan antara lain:
- Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS. Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
- Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya.
- Melaporkan segala hal yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab di atas