Korban dari afiliator investasi binary option atau opsi biner meminta Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), agar membantu komunikasi mereka dengan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Hal ini menyangkut tindak lanjut kasus dugaan penipuan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penggunaan aplikasi investasi opsi biner, dengan dua tersangka yaitu Indra Kenz dan Doni Salmanan.
Korban yang tergabung dalam Paguyuban Korban Afiliator Binary Option, menyatakan ada pihak lain yang turut menjadi afiliator aplikasi investasi tetapi belum menjadi tersangka. Mereka berinisial EL dan PS, dan sebelumnya pernah diperiksa kepolisian.
“Dalam minggu ini kita akan sampaikan data korban baru dari EL dan PS. Dalam statement-nya, PS mengatakan kalau dia korban dari IK, padahal dia sendiri afiliator,” jelas kuasa hukum para korban, Finsensius Mendrofa, usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat (RDP) Korban Afiliator Binary Option dengan Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/3).
Finsen mengungkapkan, secara keseluruhan ada sekitar 20 afiliator besar dan beberapa di antaranya merupakan kalangan artis. Data-data afiliator tersebut mereka serahkan ke Komisi III DPR, supaya dapat disampaikan kepada Bareskrim Polri.
“Data konkrit dan bukti-buktinya. Biar nanti ada pengembangan langsung dari Bareskrim,” ujar Finsen.
Terdapat dua jenis korban dalam kasus binary option berdasarkan cara mereka mengakses aplikasi, yaitu korban solo trader yang mendaftar diri secara langsung di aplikasi. Kemudian ada korban yang menjadi member dari afiliator, mereka mendaftarkan diri melalui link atau tautan yang diberikan para afiliator.
Finsen menjelaskan, korban yang ia tangani adalah korban yang menjadi member dari para afiliator. Saat ini jumlahnya sudah mencapai jutaan orang, dan terus bertambah.
“Kami dapatkan korban mengklaim karena ada dua tersangka sekarang. Mereka pikir ini kesempatan. Kami juga memverifikasi itu, mana korban yang benar-benar terafiliasi. Jangan sampai yang lain mengklaim,” katanya.
Selain audiensi dengan DPR RI, Paguyuban Korban Afiliator Binary Option sebelumnya juga berkomunikasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Mereka berharap lembaga ini dapat membantu memberikan restitusi atau pengganti kerugian yang dialami korban.
Para korban pun meminta Polri untuk terus melakukan penyitaan aset para afiliator, agar dapat digunakan sebagai restitusi. Menurut mereka, total aset yang saat ini disita masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keuntungan yang telah diperoleh para afiliator, sehingga ia merasa jumlahnya tidak dapat menutupi kerugian yang dialami korban.
“Kami yakin hanya dua tersangka itu kerugian sudah ratusan miliar (rupiah). Satu tersangka saja saldonya bisa Rp 500 miliar lebih,” ungkap Finsen.
Investasi binary option mulai marak pada 2018, dan semakin berjaya ketika pandemi melanda Indonesia pada 2020 hingga 2021. Selama masa itu, promosi aplikasi gencar dilakukan para afiliator dengan mengedepankan flexing atau memamerkan kekayaan yang mereka sebut buah investasi bermain aplikasi opsi biner, seperti quotex dan binomo.
“Para korban menonton melalui youtube dan instagram sebagai wadah promosi aplikasi binary option, sehingga korban tertarik dengan bujuk rayu para afiliator yang menyampaikan dengan flexing, padahal judi berkedok trading,” kata Finsen, menjelaskan bagaimana para korban tergiur untuk berinvestasi di aplikasi opsi biner.
Mengenai jumlah kerugian dari investasi opsi biner dan robot trading, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat aliran dana terkait opsi biner selama 2021 mencapai Rp 125 miliar. Sementara keuntungan yang bisa diperoleh para afiliator mencapai 70% dari setiap loss atau kekalahan para korban. Jumlahnya pun bervariasi, mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Terkait dengan kasus dugaan penipuan dan TPPU menggunakan aplikasi opsi biner dan robot trading, Polri terus mengembangkan penyidikan hingga beberapa aplikasi lainnya. Selain di Mabes Polri, baru-baru ini Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya juga membongkar dugaan penipuan investasi aplikasi Fahrenheit.
Menurut Direktur Reskrimsus Polda Metro Jaya Kombes Pol. Auliansyah Lubis, robot trading Fahrenheit adalah sebuah program fiktif yang tidak berhubungan dengan pasar saham.
"Jadi sebenarnya di robot trading itu ada perusahaan-perusahaan mana yang kita mau ikut, tapi ini mereka bikin sendiri jadi naik-turunnya, itu semuanya fiktif. Mereka yang bikin, bukan permainan dengan saham," kata Auliansyah di Jakarta, Selasa (22/3), seperti dikutip dari Antara.
Dalam pengungkapan tersebut Polda Metro Jaya menangkap empat orang dan menetapkan mereka sebagai tersangka, masing-masing berinisial D, IL, DB dan MR.
Tersangka D dan MF berperan sebagai pengelola atau administrator website, IL adalah pengelola media sosial, sedangkan tersangka DB bertugas mengelola situs website Fahrenheit, yang menerima dan merekapitulasi setiap transaksi member.
Para tersangka mengajak investornya melalui media sosial, dengan iming-iming program robot trading anti rugi
"Mereka menyampaikan dengan robot tersebut maka masyarakat akan terhindar dari kerugian atau hilangnya uang yang mereka letakkan atau mereka taruh atau mereka ikut sertakan di Fahrenheit ini," ujarnya.
Terkait kasus ini, penyidik Direskrimsus Polda Metro Jaya telah menyita dua kendaraan, yaitu Lexus RX300 dan Toyota Fortuner, serta dua unit apartemen di Taman Anggrek dan Latumenten sebagai barang bukti dalam kasus dugaan penipuan investasi melalui robot trading, Fahrenheit.
Selain itu, polisi juga menyita barang bukti lain antara lain 19 token internet banking, 83 buku rekening, 21 buku rekening koran dan belasan ponsel dari berbagai merek serta uang tunai dalam bentuk rupiah dan mata uang asing.
Untuk menelusuri korban dari dugaan penipuan ini, Ditreskrimsus Polda Metro Jaya meminta masyarakat yang merasa dirugikan melapor ke posko.
Kepolisian sejauh ini telah menerima sekitar 50 laporan dan lebih dari 100 pengaduan terkait investasi bodong Fahrenheit.
Dia menjelaskan, robot trading Fahrenheit dikelola oleh perusahaan bernama PT FSP Akademi Pro yang dipimpin seorang bernama Hendry Susanto, dan perannya masih dipelajari oleh penyidik kepolisian.