Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) belum juga mencapai titik terang. Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dede Yusuf meminta pembahasan aturan ini tak dilakukan secara terburu-buru.
Dede juga meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mempertimbangkan masukan banyak pihak. Beberapa di antaranya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, serta lembaga swasta yang termasuk lembaga non-formal seperti lembaga pendidikan keterampilan (LPK)
“Ini harus didengar karena pelaksana pendidikan di dalam Sisdiknas sepertinya (masih) diabaikan,” ujarnya dalam Diskusi Forum Legislasi dengan tema RUU Sisdiknas dan Masa Depan Pendidikan Indonesia, Selasa (29/3).
Draft RUU yang dibuat sebagai revisi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 itu bahkan belum sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terkait dengan draft RUU Sisdiknas yang beredar, Dede menyatakan kemungkinan itu adalah draf uji coba.
Berdasarkan laman resmi DPR, RUU Sisdiknas yang diusulkan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 oleh Komisi X itu, belum menunjukkan progres sama sekali. Sebagai informasi, setelah tahap usulan komisi, ada tahap harmonisasi RUU oleh para stakeholder untuk kemudian dilakukan penetapan usulan. Selanjutnya, RUU harus melewati tahap pembahasan di Tingkat I dan II.
Selain itu pembentukan peta jalan pendidikan sangat penting sebelum berbicara mengenai RUU Sisdiknas. Politisi Partai Demokrat itu juga mengatakan ciri Indonesia sebagai negara kepulauan tak bisa disamakan sistem pendidikannya dengan negara kontinental lantaran infrastruktur yang berbeda.
Kemudian, dalam tujuannya, apakah Pemerintah menyiapkan pendidikan umum atau pendidikan yang menyiapkan siswanya untuk masuk ke bursa kerja. “Jadi bukan hanya sekedar guru dibayar sekian atau sekolah harus melakukan begini,” katanya.
Mantan Wakil Gubernur Jawa Barat itu juga menyarankan undang-undang terkait pendidikan idealnya direvisi setiap sepuluh tahun sekali. Alasannya, UU Sisdiknas yang lama disahkan saat industri padat karya seperti sandang dan tekstil masih mendominasi. Sementara saat ini, era industri 4.0 menuntut otomatisasi dan robotisasi.
“Undang-undang tahun 2003 ini memang tidak berbicara ke sana, makanya harus diubah. Jadi yang efisien memang per sepuluh tahun dan ini sudah 19 tahun,” ujarnya.
Sebelumnya politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan fraksinya menolak revisi UU Sisdiknas jika menghilangkan frasa "madrasah" di dalamnya. Apalagi jumlah lembaga pendidikan Islam di Indonesia sangat besar.
Baidowi mengatakan dari data Kementerian Agama, pada 2019-2020 terdapat 82.418 lembaga pendidikan Islam. Dari jumlah tersebut, sebanyak 95,1% merupakan institusi swasta dan 4,9% negeri. Adapun jumlah siswanya mencapai 9,4 juta orang.
"Pemerintah harus berterima kasih kepada lembaga pendidikan seperti madrasah, karena sudah membantu mencerdaskan anak bangsa dengan amanat pasal 31 UUD 1945," katanya pada Senin (28/3) dikutip dari Antara.
Sedangkan Kemendikbudristek mengatakan madrasah tetap ada dalam RUU Sisdiknas. Mereka juga akan mendegarkan para ahli sekaligus pemangku kepentingan dalam pembahasan.
"Tidak ada keinginan menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional," kata Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo.