Dipecat IDI, Terawan Masih Bisa Berpraktik Hingga Izinnya Kedaluwarsa

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kiri) mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Rapat kerja tersebut membahas pembicaraan pendahuluan RAPBN Tahun Anggaran 2021 (RKA K/L dan RKP K/L) Kementerian Kesehatan tahun 2021.
1/4/2022, 18.26 WIB

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) telah mengeluarkan rekomendasi agar mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Terawan Agus Putranto diberhentikan secara permanen dari keanggotan profesi ini.

Akan tetapi, pemberhentian tersebut baru akan berlaku definitif setelah Pengurus Besar IDI membuat surat keputusan dalam 28 hari kerja sejak rekomendasi ini disampaikan pada Muktamar ke-31 IDI di Aceh yang digelar 25-26 Maret 2022 lalu.

Meski ada rekomendasi dipecat, ternyata Terawan masih dapat berpraktik hingga surat izin praktik (SIP) yang ia miliki kedaluwarsa. "Sampai 5 Agustus 2023," jelas dr. Beni Satria, Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, pada konferensi pers secara virtual, Jumat (1/4).

Meski diberhentikan, menurut Beni, Terawan dipersilakan melanjutkan praktik kedokterannya. Dengan catatan, Terawan hanya melakukan praktik kedokteran secara umum dan kompetensi yang ia miliki, seperti membaca hasil radiologi atau CT Scan.

Terawan diimbau tidak lagi menjalankan metode 'cuci otak' yang ia kembangkan dari metode digital subtraction angiopgraphy (DSA).

Metode ini yang menjadi dasar keluarnya rekomendasi untuk memecat Terawan dari keanggotaan IDI. Menurut IDI, metode yang dilakukan Terawan belum memiliki bukti ilmiah. Terhadap ini, Terawan mengaku metodenya telah dibuktikan saat disertasi ketika memperoleh gelar doktor di Universitas Hasanuddin.

Beni menjelaskan, IDI sebagai lembaga hanya mengeluarkan sertifikat profesi, supaya dokter dapat memperoleh surat tanda registrasi dokter yang dikeluarkan Konsil Kedokteran Indonesia.

Sementara kewenangan untuk mengeluarkan atau mencabut SIP ada pada pemerintah, melalui kepala dinas di tingkat kabupaten/kota.

Jika Terawan tetap melakukan praktik medis tersebut, IDI akan mengingatkan pemerintah dan institusi tempatnya berpraktik.

"Tetapi kalau masih dengan tindakan yang tidak terbukti ilmiah dan membahayakan pasien, tentu IDI akan merespon," jelas Beni.

Beni mengingatkan bahwa profesi dokter juga memiliki konsekuensi hukum ketika melakukan praktik tanpa surat tanda registrasi atau SIP. Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran, pada pasal 75 menjelaskan dokter yang berpraktik tanpa surat tanda registrasi terancam pidana tiga tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 juta.

Sementara pada pasal 77, menetapkan setiap orang yang sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, menimbulkan kesan seolah-olah ia adalah dokter, terancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda maksimal Rp 150 juta.

Reporter: Aryo Widhy Wicaksono