IDI Khawatir Wacana Revisi UU soal Dokter Merugikan Masyarakat

Pexels.com/Cottonbro
Ilustrasi Dokter
1/4/2022, 19.59 WIB

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) khawatir wacana untuk mensinergikan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, akan merugikan masyarakat.

Wacana ini dikemukakan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly, ketika merespons rekomendasi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk memecat mantan Menteri Kesehatan (Menkes) dr. Terawan Agus Putranto dari keanggotaan IDI.

Menurut Ketua Bidang Hukum Pembelaan dan Pembinaan Anggota (BHP2A) IDI, dr. Beni Satria, IDI tak mempersoalkan jika rencana itu terwujud. Namun ia mengingatkan bahwa IDI menjadi satu-satunya lembaga profesi yang mengawasi etika dokter.

"Silakan pemerintah mau menghapus, itu kewenangan pemerintah. Dengan menghapus rekomendsi ini, siapa yang akan memverifikasi? Silakan kalau pemerintah mau melakukan itu," ungkap Beni dalam konferensi pers secara virtual, Jumat (1/4).

Beni menjelaskan, IDI tidak memiliki wewenang untuk mengurusi Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktik (SIP), sebagai syarat legal dokter untuk berpraktik di Indonesia.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang Praktik Kedokteran, STR dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Sedangkan SIP, menurut Pasal 37 Ayat (1) undang-undang tersebut, dikeluarkan pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran dilaksanakan.

Tugas IDI hanya memberikan rekomendasi kepada Konsil Kedokteran Indonesia, untuk menyatakan seseorang memiliki kompetensi yang baik sebagai dokter. Hal ini sesuai ketentuan pada Pasal 38 ayat (1) poin c Undang-Undang Praktik Kedokteran.

"Namun rekomendasi organisasi profesi baru bisa diberikan kalau dokter tersebut memang tidak pernah melakukan tindakan pidana dan tidak pernah melakukan pelanggaran etik. Nah, kita menjaga masyarakat agar dokter-dokter yang melanggar ini kita lakukan pemberian sanksi sesuai tingkatan," jelasnya.

Beni berharap pembuat kebijakan juga dapat melihat jeli persoalan ini, sehingga perubahan terhadap undang-undang dilakukan berdasarkan kepentingan umum, bukan karena mendukung seseorang.

Sebab pada akhirnya, saat praktik dokter bermasalah kerugian paling besar akan berimbas kepada masyarakat. "Yang kita tangani ini nyawa orang lain, jangan kemudian dikaitkan dengan hal-hal yang tidak sepantasnya. Mohon berorientasi pada keselamatan pasien," ungkapnya.

Jika praktik kedokteran tidak dilakukan berdasarkan kepada kaidah ilmiah serta etika, maka masyarakat nantinya berpotensi dilayani dokter-dokter tidak beretika. “Atau bisa juga mengobati tanpa ada kaidah ilmiah, seperti meracik obat sendiri atau melakukan suatu tindakan yang itu tidak terbukti secara ilmiah,” ucapnya.

"Bayangkan jika ada dokter yang memiliki perilaku yang tidak baik, tentu ini menjadi konsentrasi. Karena tidak dilibatkan, jangan kemudian praktik ini dikembalikan ke IDI untuk melakukan pembinaan," tambah Beni.

Beni pun mengakui, saat ini banyak dokter berpraktik tetapi memiliki etika yang buruk. Mereka mengklaim diri sebagai dokter yang paling bagus dan mempromosikan diri sebagai seorang penyembuh. Padahal, secara etika mengklaim diri seperti itu tidak diperbolehkan.

"Praktik seperti ini banyak, itu concern IDI," ucap Beni.

Sebelumnya Menkumham Yasonna Laoly menyebut sinergi kedua undang-undang tersebut diperlukan untuk memperbaiki tata kelola kedokteran di Indonesia.

"Saran kami dan saya mendapat support cukup banyak, dan saya berbicara dengan banyak pihak, saya kira revisi undang-undang ini perlu," ujar Yasonna Laoly di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (31/3).

Melalui revisi ini, Yasonna berharap ada perubahan pada lembaga yang berwenang mengeluarkan izin praktik dokter, sehingga lembaga profesi seperti IDI dapat lebih fokus untuk meningkatkan kualitas dan pelayanan dokter.

Reporter: Aryo Widhy Wicaksono