Platform analisis data media sosial, Drone Emprit telah merilis data mengenai polarisasi penggunaan istilah "cebong", "kampret", "kadrun", dan "buzzeRp" pada media sosial Twitter. Penelitian data ini dilakukan sebagai respons terhadap maraknya penempatan label identitas bagi masyarakat yang mengkritik pemerintah, maupun kepada mereka yang pro terhadap kebijakan pemerintah.

“Sebab banyaknya orang yang diberi gelar kadrun, karena berbeda pendapat dengan kelompok tersebut, atau karena mengritik pemerintah,” kata Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, kepada Katadata.co.id, Senin (18/4).

Awalnya, Fahmi tertarik meneliti penggunaan istilah-istilah ini setelah cuitan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI), Burhanuddin Muhtadi, setelah dirinya mendapatkan label kadrun pada Sabtu (16/4). Cap ini diberikan setelah IPI mempublikasikan hasil survei mengenai kepercayaan publik terhadap institusi politik, isu-isu mutakhir, dan dinamika elektoral menjelang Pemilu 2024. 

Pada survei yang digelar 11-21 Ferbuari tersebut menyatakan bahwa mayoritas publik menolak perpanjangan masa jabatan presiden, dan adanya 69,2% masyarakat yang semakin takut untuk menyatakan pendapatnya.

Meski demikian, Fahmi menjelaskan bahwa penelitiannya digelar atas dasar rasa penasaran mengenai asal mula penggunaan beragam istilah tersebut di media sosial, terutama Twitter, sehingga bukan semata-mata membalas cuitan Burhanuddin.

“Betul, bukan karena membela Burhanuddin Muhtadi saja,” katanya.

Temuan yang dirilis Drone Emprit berisi tren popularitas sebutan-sebutan unik yang kerap disematkan masyarakat. Di dalamnya terdapat empat kata kunci yang dianalisis, yaitu "cebong", "kampret", "kadrun", dan "buzzeRp" dan variasinya "buzzerRp".

Berdasarkan penelitiannya, istilah cebong terungkap merujuk kepada kelompok pendukung Presiden Joko Widodo, dan aktif pada masa Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Selama ini istilah cebong dianggap terinspirasi oleh peristiwa Jokowi saat melepas katak di kolam Istana Bogor pada 3 Jan 2016. Namun dari data Drone Emprit, sebelum itu sudah ada masyarakat yang menggunakan istilah cebong.  

"Istilah 'cebong' sebagai 'pendukung Jokowi' mulai banyak digunakan sejak Agustus 2015," jelas Fahmi.

Namun, istilah ini semakin populer setelah putera bungsu Jokowi, Kaesang Pengarep, kerap membuat lelucon mengenai kecebong di Twitter. 

Berdasarkan perekaman jejak sejak Juli 2015 hingga 16 April 2022 lalu, terdapat lima akun yang memiliki tingkat interaksi tertinggi dengan mencuitkan kata cebong, yaitu akun @RestyCayah dengan lebih dari 68 ribu engagement, @TanYoana lebih dari 50 ribu engagement, @RajaPurwa lebih dari 40 ribu engagement, @anonLokal lebih dari 36 ribu engagement, dan @ekowBoy lebih dari 34 ribu engagement.

Dari kelima akun ini, tinggal @ekowBoy dan @anonLokal yang akunnya terdeteksi masih aktif, sedangkan @RestyCayah, @TanYoana, dan @RajaPurwa sudah tidak aktif lagi. 

Sementara istilah kampret menjadi label terhadap kelompok pendukung Prabowo Subianto, yang kala itu menjadi calon presiden (capres) pesaing Jokowi pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

Istilah kampret muncul pertama kali pada Oktober 2015, dan semakin ramai pada pertengahan 2018. Selain digunakan oleh pendukung Jokowi untuk membalas pendukung Prabowo, istilah ini juga kerap digunakan para K-poppers atau pecinta budaya Korea, sehingga jumlah pengguna aktifnya mencapai lebih dari satu juta.

“Yang menggunakan kampret untuk merujuk pada pendukung Prabowo mungkin separuhnya atau kurang,” jelas Fahmi.

 Terdapat lima akun paling banyak berinteraksi dengan mencuitkan kata kampret, mereka secara berurutan adalah @ch_chotimah dengan lebih dari 33 ribu engagement, @Dennysiregar7 mencapai 22,5 ribu engagement, @laskar_minang lebih dari 21 ribu engagement, @TheArieAir mencapai 21 ribu engagement, serta @p3nj3l4j4h dengan 19 ribu engagement.

Dari kelima akun ini, saat ini yang terpantau masih aktif adalah @Dennysiregar7 dan  @TheArieAir.

Seiring selesainya Pemilu 2019, penggunaan istilah cebong dan kampret terus berkurang. Namun, muncul istilah baru yaitu "kadrun" sejak November 2018, oleh akun @SiharMHSitorus. Namun istilah ini mendapatkan momentumnya pada Agustus 2019, setelah @Dennysiregar7 menyebut kata kadal gurun.

"Akun @Dennysiregar7 tegas menggunakan nama "Kadal Gurun" untuk merujuk ke klaster kontra. Lalu followernya mengusulkan istilah "Kadrun". Sejak itu tren "kadrun" meningkat pesat," ungkap Fahmi.

Awalnya istilah tersebut merujuk kepada pendukung Prabowo, tetapi lambat laun mengalami pergeseran makna.

Kata kadrun paling banyak digunakan @Dennysiregar7 mencapai 140 ribu engagement, kemudian @ChusnulCh__ dengan 92 ribu engagement, lalu @ch_chotImah yang hampir mencapai 43 ribu engagement, kemudian @AnakKolong_ memiliki 38 ribu engagement, serta @Candraasmara85 dengan 35 ribu engagement.

Setelah istilah kadrun populer, baru kemudian muncul "buzzeRp" sebagai label untuk kelompok pendukung pemerintah. Istilah buzzeRp menjadi populer setelah produser film dokumenter Sexy Killers, Dandhy Laksono dan pemilik akun @HokGie ketika menyoroti serangan buzzer pada film Sexy Killers.

Istilah ini kemudian digunakan untuk merujuk kepada kelompok pro pemerintah, dan menuding mereka sebagai akun bayaran untuk membela kebijakan pemerintah melalui media sosial.

“Dalam setahun terakhir, hanya ada satu klaster yang aktif memention buzzeRp. Mereka dari kalangan oposisi dan aktivis,” katanya.

Akun yang banyak mendapatkan respon ketika menggunakan istilah buzzeRp adalah @msaid_didu dengan 76 ribu engagement, kemudian @podoradong dengan 26 ribu engagement, lalu @Dandhy_Laksono yang mendapatkan 22 ribu engagement, lalu @RamliRizal dengan 22 ribu engagement, dan terakhir @PutraWadapi dengan 21 ribu engagement.

Dari keempat istilah tersebut, penyebutan kadrun dalam media sosial menjadi yang paling banyak, mencapai 54%. Sedangkan kampret 17%, buzzeRp 17%, dan cebong 12%. 

Fahmi berharap besarnya polarisasi label identitas ini dapat berkurang, khususnya menjelang Pemilu 2024 mendatang.

“Saya pribadi berharap para influencer, buzzer, fans, dan pendukung bersedia mengurangi volume suara panggilan yang berdampak negatif bagi persatuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) kita tercinta ini,” ujarnya.

Lalu untuk apa masyarakat mengakses Twitter?

Reporter: Ashri Fadilla