Kemajuan teknologi memungkinkan manusia untuk berinteraksi tanpa harus bertatap muka. Kemudahan yang diberikan oleh kemajuan teknologi semakin terasa seiring menjamurnya platform media sosial yang tak hanya memiliki fungsi komunikasi tetapi juga informasi dan rekreasi.
Kemudahan tersebut tak hanya dirasakan kelompok usia dewasa tetapi juga anak-anak dan remaja. Berdasarkan survei Badan Pusat Statistik per 2019, 48,2 persen anak-anak berusia 7 - 17 tahun sudah mengakses internet.
Para anak dan remaja tersebut menggunakan internet untuk beberapa tujuan. Selain bermedia sosial, juga untuk hiburan dan fungsi pembelajaran.
Ibarat dua sisi uang koin, kemajuan teknologi bukan hadir tanpa risiko. Salah satu ancaman dari penggunaan internet adalah cyberbullying atau perundungan siber.
Data dalam UNICEF Report 2021 sebanyak 45 persen anak berusia 14 - 24 tahun pernah mengalami perundungan siber. Survei lain dari UNICEF juga menunjukkan, kasus cyberbullying meningkat selama pandemi Covid-19 seiring dengan meningkatnya penggunaan gawai untuk berbagai keperluan.
Mengutip penjelasan Anna Surti Ariani dari Ikatan Psikolog Klinis Indonesia yang dilansir dari Antara, penyebab anak melakukan cyberbullying adalah lantaran merasa kuat, harga diri rendah, kurang empati, ingin populer, serta tidak sadar akan dampak yang ditimbulkan.
Bentuk cyberbullying yang paling umum ditemui adalah komentar-komentar yang bertujuan menghina, menyakiti, mengintimidasi, menyebar kebohongan, serta menyebarkan foto korban untuk dijadikan bahan ejekan.
Dampak cyberbullying terhadap anak-anak tidak bisa dianggap enteng. Founder Yayasan Sejiwa Diena Haryana, dilansir Antara pula, mengatakan bahwa dampak perundungan bisa membekas hingga waktu lama bahkan berujung depresi dan bunuh diri.
Psikolog Anna Surti Ariani membagikan beberapa tips agar anak-anak tidak menjadi korban cyberbullying. Pertama, membatasi penggunaan gawai. Kedua, mengedukasi tentang dampak negatif perundungan siber.
Ketiga, membatasi konten dan aplikasi yang ada pada gadget anak. Keempat, menjadi role model yang baik dalam berperilaku di dunia maya.
Pasalnya, di dalam pencegahan cyberbullying, orang tua perlu aktif mengedukasi anak-anaknya bahwa dunia digital adalah ruang publik yang juga memiliki batasan. Orang tua memegang peranan penting dalam mengawasi anak-anak mereka dalam penggunaan gawai, pada satu sisi orang tua sebaiknya mendorong penggunaan gawai untuk kepentingan edukasi dan komunikasi. Tapi, pada sisi lain orang tua juga perlu mengendalikan dampak negatif penggunaan gawai.
Terkait cyberbullying, orang tua perlu hadir sebagai teman bagi anak mereka yang menjadi korban perundungan di dunia maya. Orang tua perlu melakukan pendekatan persuasif agar anak terbuka untuk menceritakan apa yang dialami, serta meyakinkan bahwa mereka tidak akan disalahkan.
Lebih lanjut, orang tua pun diharapkan mampu membantu mengalihkan perhatian anak dari gawai ke aktivitas lain. Disarankan pula untuk bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti psikolog anak untuk membantu pemulihan daritrauma akibat perundungan.
Maraknya perundungan siber mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk terus mengedukasi publik. Dalam modul Etis Bermedia Digital yang disusun Kominfo, bersama Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi, diperkenalkan konsep netiket (network etiquette) yang berarti tata krama dalam berselancar di dunia maya.
Melalui pengenalan konsep tersebut, Kominfo mengingatkan publik bahwa yang dilibatkan dalam interaksi di dunia maya bukan sekadar deretan teks dan gawai tetapi juga ada manusia di baliknya.
Edukasi lain yang dilakukan Kominfo melalui forum digital FIRTUAL (Forum Literasi Hukum dan HAM Digital) pada Senin (21/2/2022) bertajuk "Sadar Hukum dan HAM: Perundungan Siber dan Etika Siber". Meski tak spesifik diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja, FIRTUAL bertujuan menjadi sarana yang dapat membentuk kepribadian warganet yang mengedepankan norma dan etika.
Di dalam acara tersebut, Staf Khusus Menkominfo Rosarita Niken Widiastuti menilai, sebagian masyarakat mengira kehidupan nyata dan maya berbeda.
Kehidupan nyata dianggap memiliki etika dan sopan santun, tapi ketika di media sosial seolah-olah tidak ada tanggung jawab pada apa yang mereka tulis dan unggah. Pengguna seakan lupa bahwa jejak digital akan tersimpan selamanya.
Lewat program literasi digital, Kementerian Kominfo secara rutin menggelar kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan ruang digital yang beretika, nyaman, aman, dan produktif. Program Kominfo ini menyasar empat pilar digital, antara lain digital ethics, digital safety, digital skill, dan digital culture.
Lebih jauh seputar implementasi pilar literasi digital, khususnya etika digital, dapat Anda simak melalui pranala info.literasidigital.id.