Sepekan menjelang gelombang pertama berakhirnya masa jabatan kepala daerah pada 2022 ini, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) masih menyeleksi nama-nama calon Penjabat.
Proses ini berjalan secara internal dan tertutup. Kemendagri tak mengungkap siapa saja pimpinan tinggi madya yang menjadi calon penjabat gubernur, atau pimpinan tinggi pratama calon penjabat bupati dan wali kota. Padahal, Mei ini setidaknya terdapat 5 gubernur serta 44 bupati dan wali kota yang akan berakhir masa jabatannya.
Menjelang proses pemilihan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan potensi korupsi yang rentan terjadi pada masa transisi dan proses pengisian penjabat kepala daerah.
"Proses ini sering menjadi ajang transaksi yang rentan terjadinya praktik korupsi. Mirip halnya praktik jual beli jabatan dalam beberapa perkara yang tidanganti KPK," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (10/5) seperti dikutip dari Antara.
Berdasarkan catatan KPK, pelaku korupsi umumnya berasal dari proses politik. Sejak 2004 hingga 2001, terdapat 310 anggota legislatif baik di DPR maupun DPRD, 22 gubernur, serta 148 wali kota dan bupati yang terjaring lembaga ini.
Menurutnya salah satu pemicu seseorang terdorong melakukan korupsi adalah untuk mencari penghasilan tambahan sebagai upaya menutup besarnya biaya dalam mengikuti proses politik demokrasi.
Untuk mencegah korupsi di sektor politik ini, KPK menjalankan program Politik Cerdas Berintegritas. Harapannya, penjabat maupun kepala daerah terpilih nanti dapat memiliki integritas dan amanah saat menduduki jabatan.
"Tentu keberhasilan program ini sebagai upaya identifikasi dan mitigasi agar pencegahan korupsi dapat berjalan secara efektif, sangat bergantung pada komitmen seluruh jajaran partai politik, dan seluruh masyarakat," jelasnya.
Untuk menjaga integritas penjabat kepala daerah, sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) juga memerintahkan agar pemerintah membuat peraturan teknis terkait pemilihan penjabat kepala daerah.
Akan tetapi, Kemendagri tak kunjung menjalankan amanat MK. Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, sikap Kemendagri berpotensi melemahkan legitimasi penjabat kepala daerah. Sebab, mereka tidak dipilih langsung oleh rakyat, dan prosedur penunjukannya pun tidak sesuai amanat MK.
"Putusan MK sesuatu yang positif karena meminta pemerintah mengisi pejabat secara demokratis," jelas Titi kepada Katadata.co.id, Selasa (10/5).
Padahal Presiden Joko Widodo telah memerintahkan agar Kemendagri dapat menyaring calon dengan kriteria memiliki kapabilitas dan kepemimpinan yang kuat, serta mampu menjalankan tugas berat di tengah tantangan situasi ekonomi.
Proses yang sedang berjalan saat ini bersifat ekslusif karena hanya melibatkan lembaga eksekutif. Publik tidak dapat mengetahui bagaimana proses penjaringan, atau kriteria dalam menentukan terpilihnya seorang calon.
"Kalau putusan MK tidak ditindaklanjuti akan bisa dipersoalkan, dan menimbulkan keraguan dalam upaya bersungguh-sungguh menghasilkan penjabat yang kredibel dan integritas," ujar Titi.
Titi menilai sikap pemerintah yang kurang transparan justru menimbulkan kecurigaan, dan membuka kesempatan terjadinya politik transaksional atau jual beli jabatan. "Padahal itu yang ingin kita hindari," jelasnya.
Besarnya potensi transaksi politik terjadi karena penjabat kepala daerah dapat menjabat hingga kepala daerah terpilih pada Pemilu serentak 2024 dilantik. Maka untuk yang menjabat mulai 15 Mei, mereka dapat memimpin hampir selama 3 tahun ke depan, karena Pemilu untuk kepala daerah baru digelar November 2024.
Selain durasi masa jabatan yang cukup lama, posisi mereka juga cukup strategis untuk mempersiapkan proses pemilu. Termasuk meningkatkan elektabilitas partai politik atau pribadi, dengan mendulang suara atau sebagai alat pemenangan, jika memiliki niat untuk maju mengikuti kontestasi demokrasi.
"Kita tidak ingin penjabat dikaitkan dengan politik partisan atau praktis," terang Titi.
Berikut daftar 101 kepala daerah yang habis masa jabatannya tahun ini.
Sebelumnya MK dalam pertimbangannya saat melakukan judicial review Undang-Undang Pilkada memberikan beberapa syarat agar pemerintah membuat peraturan pelaksana untuk menyeleksi penjabat kepala daerah. Beberapa syarat itu meliputi pemahaman terhadap ideologi Pancasila, memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik.
Untuk itu, MK meminta pemerintah membuat pemetaan kondisi daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang dibutuhkan dengan memerhatikan kepentingan daerah serta dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala.
Tak hanya itu, MK juga menegaskan prajurit TNI maupun Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari kedinasan aktif.