Dunia saat ini masih menghadapi pandemi Covid-19. Meski demikian, sebuah studi memperkirakan perubahan iklim bisa memicu pandemi baru dalam beberapa dekade ke depan.
Studi dilakukan Universitas Georgetown, Universitas Connecticut, Pacific Lutheran University, Universitas Cape Town, dan EcoHealth Alliance. Peneliti memperkirakan perubahan iklim dapat menyebabkan setidaknya 15 ribu mutasi virus dari spesies makhluk hidup.
Dalam makalah yang dipublikasikan di jurnal Nature, lompatan mutasi virus ini dapat menumbuhkan risiko pandemi yang membahayakan manusia. Fenomena transmisi patogen dari hewan ke manusia ini dikenal dengan istilah zoonotic spillover.
“Seiring perubahan dunia, wajah penyakit juga akan berubah,” kata salah seorang peneliti yakni Gregory Albery, pakar ekologi penyakit dari Universitas Georgetown, Amerika Serikat seperti ditulis pada Rabu (11/5).
Perubahan iklim dapat menyebabkan peningkatan suhu planet, dan memaksa hewan pindah ke daerah baru yang memiliki kondisi lebih baik. Namun hewan-hewan tersebut berpotensi membawa parasit dan patogen serta menyebarkannya pada spesies baru.
Dalam makalah yang ditulis Albery dan rekan-rekannya, tindakan drastis untuk mengatasi pemanasan global yang dilakukan sekarang ini belum cukup untuk menghentikan risiko zoonotic spillover. Setidaknya, ada 10.000 jenis virus yang ada dalam populasi hewan liar dan secara diam-diam dapat menginfeksi manusia.
Meski hingga saat ini infeksi silang antara hewan dan manusia jarang terjadi, namun hancurnya habitat hewan secara masif untuk pertanian dan ekspansi perkotaan meningkatkan kontak manusia dengan hewan yang terinfeksi.
Penelitian ini memperkirakan pada tahun 2070 akan ada pergeseran jangkauan geografis dari 3.139 spesies mamalia yang disebabkan perubahan guna lahan serta perubahan iklim. Bahkan dengan tingkat pemanasan global yang relatif rendah, akan ada setidaknya 15.000 kasus penularan satu atau lebih virus antar spesies.
Contoh penularan penyakit dari hewan ke manusia yang sudah terjadi adalah pandemi Covid-19 yang diduga akibat perpindahan virus dari kelelawar. Hewan ini juga diperkirakan sudah menyebarkan 3.200 jenis virus Corona di antara populasi kelelawar lainnya.
Adapun penelitian ini menyebutkan bahwa sebagian besar risiko penyebaran penyakit ini ditemukan pada daerah dataran tinggi di Afrika dan Asia. Meski begitu, kurangnya pemantauan akan mempersulit peneliti untuk melacak perkembangan virus tertentu.
“Ada perubahan monumental dan sebagian besar tidak teramati yang terjadi di dalam ekosistem,” kata peneliti lainnya, Colin Carlson pada 28 April lalu dikutip dari The Guardian.
Ahli lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini pun memiliki pendapat serupa. Mereka mendesak perlunya rancangan pencegahan pandemi di masa depan serta penghapusan penggunaan bahan bakar fosil, salah satu penyebab krisis iklim.
“Kita akan berada di dunia di mana hanya orang kaya yang mampu bertahan ketika ada wabah penyakit menular,” kata Aaron Bernstein, direktur sementara Pusat Iklim, Kesehatan, dan Lingkungan Global di Universitas Harvard.