Partai Gerindra memutuskan untuk memecat salah satu politikus senior mereka, Mohamad Taufik sebagai kader partai. Pemecatan tersebut merupakan keputusan Sidang Majelis Kehormatan Partai (MKP), yang digelar di Kantor Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerindra.
Taufik sebagai Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Gerindra, dinilai telah gagal menegakkan disiplin dan menjaga amanah partai berlambang kepala garuda ini.
"Menyatakan saudara Taufik sebagai kader partai Gerindra telah melanggar AD/ART," ujar Wakil Ketua Majelis Kehormatan Partai Gerindra, Wihadi Wiyanto saat memimpin Sidang MKP Gerindra pada Selasa (7/6).
Setidaknya terdapat empat poin yang membuatnya dipecat dari partai yang dipimpin Prabowo Subianto, di antaranya:
- Gagal dalam menjalankan amanah partai terkait kalahnya perolehan suara pasangan Prabowo - Sandi di DKI Jakarta pada Pilpres 2019. • Telah terbukti berbohong terkait loyalitas terhadap partai pada pemeriksaan terdahulu.
- Terbukti melakukan perbuatan yang bertentangan dan tidak sejalan dengan arah kebijakan partai, dengan telah melanggar sumpahnya selaku kader. Sebab Taufik dinilai tidak patuh kepada ideologi dan disiplin partai, serta menjaga kehormatan, martabat, dan kekompakan partai.
- Banyak memberikan pernyataan di media-media pemberitaan nasional terkait dengan pergantian dirinya sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Namun menurut Gerindra, pernyataannya tersebut banyak yang tidak benar sehingga menyudutkan partai.
- Sebagai salah satu pendiri partai Gerindra di DKI Jakarta, dan telah menghabiskan waktu bersama selama lebih dari 13 tahun.
Sebelumnya, Gerindra juga telah menyingkirkan M. Taufik dari posisi Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Posisinya akan digantikan Rani Mauliani.
Taufik telah menduduki posisi itu selama tujuh tahun terakhir, dan turut merasakan kepemimpinan empat gubernur berbeda. Mulai dari Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Djarot Saiful Hidayat, hingga Anies Baswedan.
Pria kelahiran Jakarta, 3 Januari 1957, sebenarnya bukan orang baru di Partai Gerindra. Bersama Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerindra DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, Taufik dapat disebut sebagai pendiri Partai Gerindra di DKI Jakarta.
Sebelum menghabiskan 14 tahun dengan karir cemerlang di bawah partai pimpinan Prabowo Subianto, Taufik mengawali karir politiknya dengan bergabung pada Partai Golkar, lalu pindah ke Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Kurang mendapatkan posisi strategis pada kedua partai politik tersebut, Taufik kemudian mendirikan LSM Pusat Pengkajian Jakarta dan menjadi ketuanya. Selanjutnya pada 2003, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengangkatnya sebagai Ketua KPU Daerah Provinsi DKI Jakarta.
Selain di partai politik, Taufik sebelumnya juga sudah berkecimpung di sejumlah organisasi. Dari Sekjen Serikat Pekerja Maritim Indonesia, Ketua SPSI Pelabuhan Tanjung Priok, hingga Ketua Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional-Indonesia (PRSSNI) DKI Jakarta. Selain itu, juga aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jakarta, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Jayabaya, serta Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Universitas Jayabaya,
Gerindra DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Taufik juga terbilang sukses, karena berhasil membawa Jokowi dan Ahok memenangkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI pada 2012. Hal itu kembali terulang pada 2017, saat Anies dan Sandiaga Uno terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Selain prestasi, Taufik tak luput dari sederet kontroversi. Taufik terjerat kasus korupsi saat menjabat Ketua KPU DKI Jakarta. Dia mendapatkan vonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004. Taufik terbukti merugikan negara Rp 488 juta, dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.
Pada 2018, Taufik kemudian menggugat KPU DKI Jakarta ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP). Menurutnya, KPU DKI tidak menjalankan putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait dengan majunya mantan narapidana kasus korupsi sebagai calon legislatif dalam pemilihan legislatif 2019.
Hal ini membuat Taufik tetap maju sebagai calon legislatif pada Pemilu 2019 dan terpilih kembali menjadi anggota legislatif.
Padahal, berdasarkan Laporan Indeks Persepsi Demokrasi (DPI) 2022, korupsi menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap demokrasi di seluruh dunia. Laporan ini menunjukkan bahwa ancaman pada permasalahan ini sebesar 66%.