Pupuk Subsidi Kerap Langka di Petani, Apa Kata Dirut Pupuk Kaltim?

Katadata
Direktur Utama PT Pupuk Kaltim, Rahmad Pribadi (Kanan) dan Direktur Operasi dan Produksi Hanggara Patrianta
Penulis: Muchamad Nafi
9/6/2022, 07.00 WIB

Saat memulai musim bercocok tanam, isu kelangkaan pupuk subsidi kerap muncul. Sebagian petani mengeluh sulit memperoleh bahan input untuk tanaman mereka di kios-kios penyalur. Padahal stok dari produsen relatif berkecukupan, seperti urea yang paling besar diproduksi PT Pupuk Kalimantan Timur.

Isu kelangkaan pupuk memang kerap berulang. Bahkan, dalam rapat dengar pendapat, Dewan Perwakilan Rakyat sampai menanyakannya ke Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada awal tahun ini. Lutfi mengatakan, rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) pupuk bersubsidi pada 2021 mencapai 24,3 juta ton. Namun anggaran pupuk bersubsidi jauh di bawah itu.

Keterbatasan fiskal ini pula yang disampaikan Direkrut Utama PT Pupuk Kaltim Rahmad Pribadi saat berbincang dengan pimpinan media di Bontang, Kalimantan Timur, kemarin. “Kelonggaran fiskal untuk menyediakan pupuk tidak sesuai dengan yang diperlukan,” kata Rahmad. “Terlepas apakah benar RDKK itu, karena ada yang berargurmen angka 24 juta ton bukan yang sebenarnya dengan menimbang luasan lahan sawah.”

Seandainya, dia melanjutkan, jika separuhnya saja benar, yakni 12 juta ton, pemerintah tetap tidak punya kelonggaran sebesar itu. Pemerintah hanya mampu menyediakan subsidi untuk sekitar 9 juta ton, secara nilai pun terus mengecil.

Sejak 2019, subsidi pupuk memang konsisten menurun. Perhatikan Databoks berikut ini:

Problem penyaluran pupuk subsidi, kata Rahmad, saat pemerintah memutuskan mengurangi bantuan anggaran, data RDKK yang berasal dari bawah mulai dari tingkat petani tidak berubah. Walhasil, ketika di kios hanya tersedia 50 persen dari kebutuhan petani, peran kios menjadi sangat menentukan distribusinya ke kelompok-kelompok petani. Akhirnya, terjadilah siapa yang cepat datang dia yang akan mendapatkan pupuk.

Hal ini yang kemudian kerap menjadi perselisihan di antara para pihak di sekitar pupuk ini. “Itu yang sering disebut sebagai kelangkaan,” ujar Rahmad. “Padahal, bukan karena stok yang tidak ada. Di sisi produsen cukup tersedia, tetapi yang kurang adalah kuota subsidinya.”

Untuk mengatasainya, kata Rahmad, pemerintah dan DPR sedang mematangkan solusinya. Ini juga agar petani tahu, setelah subsidi dipotong menjadi 9 juta ton, berapa jatah untuk mereka.

Di sisi lain, manajemen Pupuk Kaltim menggandeng aparat kepolisian dan kejaksaan untuk memastikan tidak ada penyelewengan distribusi pupuk bersubsidi. Kerja sama ini tidak sekadar penindakan, juga prefentif.

Sebagai contoh, kejaksaan melakukan sosialisasi ke distributor-distributor. Untuk itu, Pupuk Kaltim berbagi data dengan penegak hukum sehingga jaringan intelijen mereka bisa memastikan bahwa pupuk tersalurkan sesuai aturan.

Di internal, Pupuk Kaltim terus melaksanakan sebaik mungkin aneka pencegahan. “Sehingga tidak ada penyelewengan oleh jaringan di bawah kami,” ujar Rahmad. “Terus memonitor seribu distributor tidak gampang, semua punya karakter masing-masing.”

Makmur: Mari Kita Majukan Usaha Rakyat

Dalam membenahi masalah ketercukupan pupuk, Pupuk Kaltim menggulirkan program agro solution yang kemudian diadopsi oleh Kementerian BUMN menjadi Makmur: Mari Kita Majukan Usaha Rakyat.

Rahmad mengatakan, program Makmur dimaksudkan untuk membangun kemandirian sektor pertanian yang tidak tergantung pada subsidi. Pada saat yang sama juga meningkatkan kesejahteran petani. Rahmad ingin menepis anggapan bahwa kalau tidak memakai pupuk subsidi, kesejahteraan petani menurun.

Menurut dia, dalam usaha pertanian, kompononen pupuk sekitar 17 persen. Kenaikan biaya dari pupuk subsidi ke non-subsidi yang dibarengi dengan peningkatkkan produktivitas maka penambahan biaya pupuk akan terkompensasi.

Hasilnya? Rahmad mengklaim bahwa program Makmur dapat meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani hingga 150 persen, dibandingkan dengan yang 100 persen menggunakan pupuk subsidi.

“Bukan karena pupuknya berbeda,” ujar Rahmad. Gambarannya seperti ini. Jumlah pupuk bersubsidi terbatas. Petani yang memakai pupuk subsidi itu menggunakan pupuk sebanyak jatah subsidinya. “Sedangkan di dalam ekosistem Makmur, kami memberi pupuk sesuai kebutuhan tanamannya, sehingga produktivitasnya tinggi.”

Namun petani seringkali keberatan lantaran mesti mengeluarkan uang lebih banyak di depan untuk membeli pupuk non-subsidi ini. Untuk itulah, kata Rahmad, dalam ekosistem Makmur melibatkan isntitusi keuangan untuk mendorong pembiayaan.

“Mereka mau masuk karena ada offtaker, yang juga kami ajak di sini,” katanya. “Kalau gagal panen bagaimana? Kami ajak asuransi. Ini semua berjalan baik karena Pupuk Kaltim sebagai kolaborator memastikan dalam mendampingi petani sehingga produktivitasnya naik.”