Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sudah memulai satu dari enam pilar transformasi sistem kesehatan nasional dengan integrasi pelayanan kesehatan primer. Salah satu yang menjadi pilar adalah pembenahan posyandu sebagai sistem kesehatan tingkat dusun, rukun tetangga (RT), dan rukun warga (RW) di seluruh Indonesia.
Dalam hal ini, Kemenkes akan mengaktifkan kembali 300 ribu posyandu di seluruh RT. Kemudian, akan ada posyandu prima di sepuluh ribu kelurahan dan 74 ribu desa.
Kemudian, fokus layanan kesehatan yang tersedia akan distandardisasi dan dilengkapi dari sebelumnya hanya melayani ibu dan bayi. Nantinya, posyandu menawarkan paket untuk seluruh usia, baik dari anak, remaja, hingga lansia.
“Di level posyandu yang datang ke rumah, ada 12 paket layanan kesehatan. Di posyandu prima ada 21 paket, puskesmas sekitar 30 paket,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam acara Kick-off Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, Jumat (10/6).
Hal ini penting lantaran jumlah puskesmas yang ada masih belum mencukupi untuk melayani kesehatan masyarakat. Belum lagi puskesmas hanya berada di tingkat kecamatan.
Oleh sebab itu Budi akan merapikan sistem kelembagaan yang ada posyandu hingga puskesmas. Hal ini meliputi struktur organisasi dan anggaran yang ada di dalamnya.
"Jadi sama seperti Puskesmas cuma ada 10 ribu, sudah pasti nggak bisa layani. Kita harus cari gimana caranya biar (jumlah Puskesmas) jadi 300 ribuan,” kata Budi.
Selain itu akan ada digitalisasi masif yang diharapkan mempermudah proses pelayanan dan pelaporan kesehatan masyarakat. Setiap data yang dimasukkan dari fasilitas kesehatan akan masuk ke dalam platform PeduliLindungi.
Aplikasi yang sebelumnya hanya bisa menyimpan sertifikat vaksin dan histori kunjungan ini akan dimanfaatkan untuk penyimpanan data kesehatan masyarakat secara lengkap. “Jadi survey stunting pun pendekatannya bukan statistikal tapi faktual. Tidak perlu menunggu survey tiga tahun sekali,” kata Budi.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Maria Endang Sumiwi menjelaskan uji coba akan dilaksanakan selama tiga bulan bersama Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kemenkes. Setelah itu BKPK akan memberi rekomendasi kebijakan dari evaluasiprogram tersebut.
“Hal ini juga akan dibahas Kementerian Kesehatan bersama Kenenterian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi,” ujar Maria.
Kesembilan lokasi yang menjadi lokasi adalah Kabupaten Rokan Hilir Riau, Kabupaten Garut Jawa Barat, Kota Surabaya Jawa Timur, lalu Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Selain itu ada Kabupaten Maros Sulawesi Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan Nusa Tenggara Timur, Kabupaten Sumbawa Barat Nusa Tenggara Barat, Kota Tual, Maluku, dan Kabupaten Keerom, Papua.
Pemilihan lokasi uji coba ini dipilih karena bisa mewakili empat keadaan di wilayah Indonesia, yakni daerah perkotaan, pedesaan, terpencil, dan sangat terpencil.