BMKG Jelaskan Penyebab Kualitas Udara Jakarta Tidak Sehat

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/rwa.
Deretan permukiman penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). Berdasarkan data "World Air Quality Index" pada Selasa (20/4) pukul 10.00 WIB tingkat polusi udara di Jakarta berada pada angka 174 yang menunjukkan bahwa kualitas udara di Ibu Kota termasuk kategori tidak sehat.
19/6/2022, 07.59 WIB

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika atau BMKG menjelaskan sejumlah faktor yang memengaruhi peningkatan konsentrasi PM2,5 yang terjadi di Jakarta dalam beberapa hari terakhir.

Plt. Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Urip Haryoko mengatakan bahwa dalam beberapa hari terakhir PM2.5 mengalami lonjakan peningkatan konsentrasi. Bahkan kenaikan tersebut menjadi yang tertinggi berada pada level 148 µg/m3. PM2.5 dengan konsentrasi ini dapat dikategorikan kualitas udara tidak sehat.

Melansir laman resmi BMKG, dijelaskan kalau PM2.5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Adapun Nilai Ambang Batas atau NAB adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien. NAB PM2.5 = 65 µgram/m3.

"Tingginya konsentrasi PM2.5 dibandingkan hari-hari sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat/gelap," kata Urip dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (18/6).

PM2.5 merupakan salah satu polutan udara berukuran sangat kecil, dan dapat dengan mudah masuk ke dalam sistem pernapasan. Polutan tersebut juga dapat menyebabkan gangguan infeksi saluran pernapasan dan gangguan pada paru-paru.

Selain itu, PM2.5 dapat menembus jaringan peredaran darah dan terbawa oleh darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner.

Berdasarkan analisis BMKG, konsentrasi PM2.5 di Jakarta dipengaruhi oleh berbagai sumber emisi baik yang berasal dari sumber lokal. Beberapa di antaranya seperti transportasi dan residensial, maupun dari sumber regional dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.

Emisi tersebut, dalam kondisi tertentu yang dipengaruhi oleh parameter meteorologi dapat terakumulasi dan menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi yang terukur pada alat monitoring pengukuran konsentrasi PM2.5.

Selain itu, proses pergerakan polutan udara seperti PM2.5 dipengaruhi oleh pola angin yang bergerak dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Angin yang membawa PM2.5 dari sumber emisi dapat bergerak menuju lokasi lain sehingga menyebabkan terjadinya potensi peningkatan konsentrasi PM2.5.

"Pola angin lapisan permukaan memperlihatkan pergerakan massa udara dari arah timur dan timur laut yang menuju Jakarta, dan memberikan dampak terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di wilayah ini," kata dia.

Faktor lainnya yang mempengaruhi peningkatan PM2.5 yakni tingginya kelembapan udara relatif menyebabkan peningkatan proses adsorpsi (perubahan wujud dari gas menjadi partikel). Proses ini menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi PM2.5 yang difasilitasi oleh kadar air di udara.

Selain itu, kelembapan udara relatif yang tinggi dapat menyebabkan munculnya lapisan inversi yang dekat dengan permukaan. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

"Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan PM2.5 yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lain, dan mengakibatkan akumulasi konsentrasinya yang terukur di alat monitoring," kata dia.

Menurut dia, peningkatan konsentrasi PM2.5 yang berdampak pada penurunan kualitas udara di Jakarta ini memberikan pengaruh negatif pada individu yang memiliki riwayat terhadap gangguan saluran pernapasan dan kardiovaskuler.

"Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk dapat mengurangi aktivitas di luar ruangan dan menggunakan pelindung diri seperti masker yang sesuai untuk dapat mengurangi tingkat paparan terhadap polutan udara," kata dia.

Reporter: Antara