Indonesia merupakan negara dengan penduduk aktif menggunakan media sosial. Berdasarkan riset yang dirilis oleh We Are Social pada 2022, jumlah pengguna aktif media sosial di Tanah Air 191 juta orang. Angka ini meningkat 12,35 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 170 orang.
Sementara itu, menurut laporan Statista pada Januari 2022, Facebook (FB) merupakan media sosial terpopuler di dunia. Dikutip dari Katadata, media jejaring sosial besutan Mark Zuckerberg ini memiliki jumlah pengguna aktif terbanyak dibandingkan media sosial lainnya, yaitu sebanyak 2,9 miliar pengguna.
Menyusul Facebook, Youtube, berada di urutan kedua dengan pengguna aktif sebanyak 2,56 miliar, diikuti Whatsapp dengan 2 miliar pengguna aktif, Instagram dengan 1,48 miliar pengguna aktif, dan Weixin/Wechat dengan 1,26 miliar pengguna aktif.
Berikutnya, Tiktok mempunyai 1 miliar pengguna aktif, Facebook Mesengger 988 juta pengguna aktif, Douyin 600 juta pengguna aktif, dan QQ memiliki 574 juta pengguna aktif.
Sementara itu, Twitter berada di urutan ke-15 dengan 436 pengguna aktif. Seperti diketahui, Elon Musk mengancam akan membatalkan akuisisi media sosial tersebut senilai US$44 miliar jika Twitter tidak memberi data akun palsu.
Namun demikian, potensi penggunaan media sosial belum dibarengi dengan literasi digital khususnya pada pilar kecakapan digital. Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbud, Jumeri, mengungkapkan masih banyak masyarakat yang meninggalkan komentar kasar maupun informasi hoaks di dunia digital yang berujung pada masalah hukum.
“Banyak dari mereka yang belum memahami kerahasiaan data seperti KTP dan data keuangan, bahkan mereka asal memasukkan data tersebut dalam aplikasi sehingga berujung pada kasus penipuan,” ujarnya dalam Webinar Digital Society, pada Kamis (12/8/2021).
Ia juga memaparkan bahwa informasi data pribadi tersebut sangat rawan digunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Data tersebut dapat berakibat pada berbagai aspek yang akhirnya berimplikasi pada hubungan personal hingga ke ranah hukum, jangan sampai kita mengalami hal tersebut,” imbuhnya.
Selain rentan digunakan untuk tindak kejahatan, jejak digital pada media sosial juga dapat dijadikan sebagai identifikasi bagi calon pelamar kerja, calon pelamar beasiswa, bahkan pertimbangan dalam promosi jabatan.
“Kita tetap harus waspada serta berhati-hati terkait informasi apapun yang kita bagikan di internet. Setiap detik kita buka internet data kita sudah tertinggal. Ada rambu-rambu yang harus kita perhatikan, seperti UU ITE yang harus kita taati,” tandasnya.
Sementara Kepala Divisi Bidang Pengembangan Kurikulum GNLD Siberkreasi Heni Mulyati, menjelaskan bahwa jejak digital dibagi menjadi jejak digital aktif dan pasif. Menurutnya, jejak digital aktif merupakan data yang sengaja warganet kirimkan di internet atau platform digital, seperti e-mail, publikasi di media sosial, atau mengisi formulir daring.
“Sedangkan jejak digital pasif merupakan jejak digital yang kita tinggalkan secara daring dengan tidak sengaja dan tanpa sepengetahuan kita. Biasanya digunakan untuk mencari tahu profil pelanggan, target iklan, dan sebagainya,” kata Heni, dikutip dari Kominfo.go.id (13/8/2021).
Ia juga menambahkan, berdasarkan penelitian Netsafe, hal negatif yang paling sering dilaporkan yakni mempublikasikan informasi pribadi yang mengarah pada penindasan atau pelecehan daring, serta menerbitkan informasi pribadi yang digunakan untuk serangan manipulasi psikologis.
Tips Menjaga Rekam Jejak Digital
Menggunakan media sosial dapat berdampak negatif bila kita tidak bijak dalam memanfaatkannya. Maka dari itu, Kepala Divisi Bidang Pengembangan Kurikulum GNLD Siberkreasi, Heni Mulyati, memberikan berbagai tips agar pengguna sosial media dapat menghindari potensi negatif dari rekam jejak digital.
Menurutnya, warganet harus berhati-hati dalam melakukan aktivitas di internet, serta memikirkan terlebih dahulu dampak yang ditimbulkan agar tidak merugikan pihak lain maupun berakibat pelanggaran hukum.
“Kita bisa merancang jejak digital yg baik, seperti meninggalkan catatan karya atau prestasi di berbagai platform digital. Harapannya ketika seseorang mengetikan nama kita di mesin pencari, maka seluruh karya berkualitas yang pernah kita buat bisa muncul dan menjadi catatan baik,” ujarnya.
Selain itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga menganjurkan untuk mencari tahu jejak digital pengguna, seperti memeriksa di situs pencarian untuk mengecek seperti apa jejak digital sebelumnya. Bila terdapat jejak digital yang kurang baik pada unggahan lama, maka sebaiknya segera dihapus.
Kemudian pengguna dapat mengatur privasi di perangkat agar hal-hal yang tidak ingin dilihat orang lain dapat diatur menjadi privat. Memeriksa cookies pada perangkat juga penting supaya dapat memblokir situs tidak dikenal yang mengirimkan cookies. Gunakan pula kombinasi yang kuat dalam membuat kata sandi agar lebih aman.
Cara berperilaku juga kerap terekam di Internet, maka dari itu diperlukan pemikiran matang sebelum menulis maupun mengunggah sesuatu. Biasakan diri untuk lebih bijak sebelum menulis apapun di sosial media. Ada baiknya pengguna media sosial memikirkan terlebih dahulu dampak yang ditimbulkan bila membagikan sesuatu di sosial media untuk mencegah hal yang tidak diinginkan di masa mendatang.
Pentingnya membentuk rekam jejak yang positif, bersih, dan netral di internet selaras dengan misi literasi digital khususnya pilar keamanan digital. Pasalnya, risiko peretasan dan penipuan tidak hanya berseliweran di dunia nyata tetapi juga maya. Informasi lebih lanjut terkait literasi digital dapat diakses melalui info.literasidigital.id.