Pakar Hukum Harap Revisi KUHP Beri Batasan Terkait Penghinaan Presiden

/home/ubuntu/Pictures/antarafoto/cropping/production/original/ANT20190927170.jpg
Mahasiswa gabungan dari berbagai perguruan tinggi serta pelajar berunjuk rasa dengan menggelar aksi teatrikal di Alun-alun Serang, Banten, Jumat (27/9/2019).
29/6/2022, 16.53 WIB

Pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat telah menyepakati 14 poin krusial yang menjadi pembahasan pada revisi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satu poin yang dipertahankan adalah pasal menyangkut penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut pakar hukum tata negara, Hamdan Zoelva, Pemerintah dan DPR mesti memuat penjelasan dan batasan menyangkut penghinaan ini, untuk mencegah timbulnya 'pasal karet'.

"Tanpa ada pembatasan, itu menjadi pasal karet karena menyangkut presiden. Itu menjadi sangat penting dalam merumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kehormatan dan martabat presiden," kata Hamdan dalam acara bertajuk RKUHP: Menyoal Pasal Penghinaan Pemerintah yang disiarkan secara virtual, seperti dikutip Antara, Rabu (29/6).

Hamdan juga berharap agar penyusun undang-undang memberikan penjelasan lengkap di dalam RKUHP, untuk menghilangkan ruang multitafsir terkait pasal penghinaan presiden ini.

Pandangan ini terungkap, karena Hamdan melihat masyarakat di negara demokrasi memiliki hak untuk mengkritik pemerintah. Selain itu, menyampaikan atau mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintah.

"Masalahnya adalah sejauh mana cara penyampaian kritik itu sehingga tidak menyentuh hal-hal yang sangat berkaitan dengan personal," ucap dia.

Menurutnya, kebebasan yang tidak teratur dapat menimbulkan konflik sosial. Untuk itu dibutuhkan mekanisme pidana agar menjaga situasi kondusif. Salah satunya seperti pembentukan pasal tentang penghinaan pemerintah atau presiden.

"Tetapi batasan-batasan menjadi sangat penting untuk diperjelas agar tidak menjadi pasal karet," ujarnya.

Halaman:
Reporter: Antara