Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) angkat bicara soal masalah donasi yang tengah ramai. PPATK meminta masyarakat berhati-hati dalam memberikan sumbangan.
Kepala PPATK, Ivan Yustiananda mengatakan masyarakat juga perlu memperhatikan pemilihan platform dalam donasi. Apalagi PPATK menemukan indikasi dugaan penyelewenangan dana sumbangan.
"Ini sudah terendus sejak dari masyarakat dan pihak lain. Laporan disampaikan Penyedia Jasa Keuangan," kata Ivan dalam keterangan tertulis, Selasa (5/7).
Ivan tidak menyinggung lembaga mana yang terindikasi menyalahgunakan donasi masyarakat. Namun ia mengatakan beberapa modus yang kerap digunakan adalah kotak amal yang terletak di kasir toko perbelanjaan.
Oleh sebab itu masyarakat perlu mengenal lembaga yang melakukan penggalangan dana. Kredibilitas donatur bisa diketahui lewat data yang disajikan Kementerian Sosial.
Berikutnya, masyarakat perlu melihat ketersediaan kanal informasi si penggalang dana. Hal ketiga, penyumbang bisa mengakses informasi laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban secara resmi.
"Biasanya beberapa laporan yang baik telah mendapatkan audit akuntan publik," bunyi keterangan PPATK.
Terakhir, masyarakat perlu melakukan kroscek salah satu program penggalangan dana. Cara paling mudah adalah mengunjungi program tersebut atau mencari informasi dari sumber sekunder yang valid.
PPATK tidak menyinggung lembaga donasi yang dimaksud. Meski demikian, publik beberapa hari ini diramaikan dugaan penggelapan dana donasi umat yang dilakukan Aksi Cepat tanggap (ACT).
Awalnya Majalah Tempo menyoroti hal ini dalam laporan bertajuk "Kantong Bocor Dana Umat". Jajaran pimpinan ACT diduga menggunakan dana lembaga untuk keperluan pribadi, seperti membeli rumah, perabotan, hingga transfer uang bernilai belasan miliar ke keluarganya.
Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar, menepis anggapan bahwa yayasan yang diketuainya menggaji pimpinan hingga Rp 250 juta. Dirinya mengaku tak mengetahui asal muasal data yang beredar tersebut.
“Data-data yang beredar tidak berlaku permanen. Kita tidak bisa jelaskan sebenarnya sumber data dari mana,” ujar Ibnu dalam Konferensi Pers di Kantor ACT, Senin (4/7).