Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyebutkan dana senilai Rp 1,7 triliun mengalir ke Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dari jumlah tersebut, PPATK menemukan lebih dari separuhnya mengalir ke entitas pribadi.
Terkait dengan hal ini, Ketua PPATK Ivan Yustiavanda mengatakan pihaknya sudah membekukan 843 rekening dengan nilai mencapai Rp 11 miliar.
“PPATK melihat ada Rp 1,7 triliun mengalir ke ACT. Lebih dari 50 persennya mengalir ke entitas-entitas yang terafiliasi kepada pihak-pihak pribadi, angkanya masih Rp 1 triliunan,” kata Ivan, di Jakarta, Kamis (4/8).
Menurutnya, dana tersebut dialirkan ke kegiatan-kegiatan usaha lain ACT. Usaha tersebut menerima dan kemudian kembali mengalir ke pengurus. “Kelompok-kelompok kegiatan usaha di bawah entitas A ini dimiliki oleh dan terafiliasi dengan para pemilik,” ujar Ivan.
Dalam penulusuran PPATK, uang yang tersebar tersebut dipergunakan untuk pembayaran kesehatan dan pembelian vila atau rumah. Selain itu untuk membeli aset dan segala macam yang tidak terkait dengan kepentingan sosial.
PPATK juga menduga ada 176 lembaga filantropi lainnya yang memiliki kegiatan serupa ACT.
Modusnya, penggunaan dana yang dihimpun publik tidak sesuai dengan peruntukan semestinya, dan ada yang lari ke pengurus maupun entitas hukum yang dibentuk para pengurus. Hal ini tidak sesuai dengan yang digariskan Kementerian Sosial.
Akhir bulan lalu, kepolisian menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana penyelewengan dana oleh Aksi Cepat Tanggap. Pendiri ACT Ahyudin serta Presiden Direktur yayasan tersebut, Ibnu Khajar jadi dua di antara para tersangka tersebut.
“Inisial tersangka A 56 tahun selaku Ketua Pembina ACT, IK selaku pengurus Yayasan ACT, HH sebagai anggota pembina, dan NIA selaku anggota pembina,” kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Komisaris Besar Pol. Halfi Assegaf (25/7). HH merujuk pada Hariyana Hermain dan NIA ke Novariadi Imam Akbari.
Ketika itu belum diketahui secara detail penyelewengan dana yang dilakukan keempatnya. Namun tim penyidik sebelumnya menemukan bahwa dana corporate social responsibility untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT-610 digunakan untuk keperluan internal ACT.
Dana pertanggung jawaban atas kecelakaan tersebut lebih dari Rp 2 miliar untuk masing-masing korban. Sehingga total dana yang diberikan pihak Boeing sekitar Rp 138 miliar. Namun ACT tak memberitahukan pihak ahli waris korban mengenai realisasi jumlah dana CSR yang diterima.
Kuasa Hukum Ahyudin, Teuku Pupun Zulkifli membantah dugaan tersebut. Menurut Pupun, dugaan yang melibatkan kliennya belum memiliki pembuktian yang cukup.
Sementara itu, Kementerian Sosial telah mencabut izin pengumpulan sumbangan yayasan ACT pada Rabu (6/7) lalu. Kemensos mencabut izin karena ACT terindikasi melanggar Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pengumpulan Uang/Barang (PUB).