KIC Rilis Buku Saku Perdagangan Karbon Atasi Krisis Iklim

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
23/8/2022, 17.44 WIB

23 Agustus 2022 – Katadata Insight Center (KIC) merilis Indonesia Carbon Trading Handbook, laporan riset yang mencakup informasi mengenai pasar karbon, mekanisme perdagangan karbon yang dilakukan secara global, serta perkembangan perdagangan karbon dan instrumen kebijakan di Indonesia.

Buku saku ini menunjukkan bila Indonesia dapat berkontribusi dalam ekosistem pasar karbon secara signifikan dan berpotensi sebagai penghubung jaringan perdagangan karbon global. Namun sejauh ini, Indonesia masih belum memiliki pasar karbon domestik yang terintegrasi. Skema perdagangan karbon di Indonesia yang sudah beroperasi pun masih berbasis pada mekanisme pasar sukarela.

“Strategi dalam memanfaatkan potensi perdagangan tersebut perlu dilakukan oleh stakeholder terkait, mulai dari membuat rancangan roadmap perdagangan karbon yang terorganisir hingga pengembangan infrastruktur pendukung sebagai basis terlaksananya perdagangan karbon di Indonesia,” jelas Gundy Cahyadi, panel ahli Katadata Insight Center mengenai penerbitan buku saku ini, Selasa (23/8/2022).

Ia juga menjelaskan bila, buku saku ini diharapkan dapat membantu para stakeholder terkait serta menumbuhkan perdagangan karbon di Indonesia.

Berdasarkan lembaga verifikasi kredit karbon Verra (standar yang telah berkontribusi secara signifikan pada volume kredit karbon global), Indonesia memiliki beberapa proyek Nature Based Solutions dan Energi Terbarukan yang aktif dan teregistrasi, dari 13 proyek diperkirakan berhasil mengurangi lebih dari 15 juta ton karbon. “Proyek ini kita harapkan terus tumbuh, karena kita punya potensi besar di sini,” kata Gundy.

Indonesia Carbon Trading Handbook diluncurkan Katadata Insight Center melalui webinar SAFE Forum 2022 pada Selasa (23/08/2022).

Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon membawa kabar baik bagi perjalanan perkembangan perdagangan karbon di Indonesia. Perpres tersebut melanjutkan aturan-aturan sebelumnya yang secara lebih detail membahas mengenai sistem perdagangan karbon yang akan dilaksanakan di Indonesia.

Pemerintah perlu menyiapkan proyek transisi energi dalam jangka panjang secara komprehensif Sementara, industri perlu menerapkan kerangka ESG dan mengelola produksi karbon mereka sehingga dapat mengurangi risiko keuangan dari transisi ekonomi yang lebih ramah lingkungan.

Dengan semakin meningkatnya kesadaran akan risiko perubahan iklim, banyak konsensus baik domestik maupun global yang dikemukakan untuk menyusun langkah mitigasi terhadap dampak perubahan iklim. Terlebih lagi, krisis pandemi Covid-19 dalam 2 tahun terakhir dipandang sebagai risiko non-ekonomi yang mengguncang stabilitas ekonomi.

Tanpa adanya upaya mitigasi bersama dalam melakukan pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK), tujuan Paris Agreement untuk membatasi pemanasan global dari 1,5 hingga 2 ℃ akan berada di luar jangkauan. Riset dari Swiss Re Institute memprediksi bahwa pemanasan global dapat menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi dunia sebesar 11-18% atau sekitar US$ 23 triliun jika suhu meningkat 3,2 ℃.

Pasal 6 Paris Agreement menjelaskan salah satu pendekatan penting dalam melakukan langkah mitigasi tersebut adalah mekanisme berbasis pasar, yaitu perdagangan karbon. Analisis Environmental Defense Fund (EDF) pada 2019 mengindikasikan bahwa perdagangan karbon global dapat mengurangi total biaya mitigasi untuk memenuhi tujuan Paris Agreement sekitar US$ 300 hingga US$ 400 miliar selama 2020-2035.

Perdagangan karbon ke depannya dianggap sangat bermanfaat bagi Indonesia yang memiliki salah satu hutan tropis terluas di dunia. Berdasarkan data luasnya hutan, dengan skenario harga jual kredit karbon senilai US$ 5 per ton, potensi pendapatan yang diperoleh mencapai sekitar Rp 8.000 triliun.
Laporan Indonesia Carbon Trading Handbook sudah tersedia di https://kic.katadata.co.id/insights.