Hitung-hitungan Jokowi Godok Kenaikan Harga BBM, Apa Saja Faktornya?

ANTARA FOTO/Umarul Faruq/YU
Presiden Joko Widodo (kanan) membagikan kaos saat menghadiri Konser Satu Komando Sapu Lidi di Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (21/8/2022).
23/8/2022, 20.50 WIB

Presiden Joko Widodo dikabarkan akan mengumumkan harga baru bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pekan ini. Meski demikian, Jokowi mengaku masih menghitung kenaikan harga tersebut.

Jokowi beralasan, keputusan tersebut bisa berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi. Mantan Wali Kota Solo itu tidak ingin kenaikan harga BBM berdampak pada penurunan daya beli rakyat dan konsumsi rumah tangga.

"Semuanya saya suruh hitung betul sebelum diputuskan," kata Jokowi di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Selasa (23/8).

Subsidi energi yang kemungkinan tak cukup hingga akhir tahun ini membuat pemerintah harus berhitung. Menteri Keuangan Sri Mulyani khawatir APBN tak sanggup menanggung beban subsidi energi yang berpotensi terus melonjak jika konsumsi BBM bersubsidi tak dikendalikan. 

Sri Mulyani sebelumnya menyebut kuota BBM bersubsidi jenis pertalite menipis dan kemungkinan tidak akan cukup hingga akhir tahun. Belum lagi harga minyak yang terus meningkat imbas ketegangan di Ukraina. "Ini berarti akan ada tambahan di atas Rp 502,4 triliun yang sudah kita sampaikan," katanya.

Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Made Arya Wijaya mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan asesmen terkait opsi kebijakan yang akan dipilih terkait BBM bersubsidi. Made sebelumnya menyebut, kenaikan harga menjadi pilihan terakhir.

Sedangkan Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menghitung inflasi bisa naik menjadi 6%-7% secara tahunan jika harga pertalite di kerek hinggal Rp 10.000 per liter. Ini sudah menghitung dampak langsungnya dengan tambahan inflasi 0,93 poin persentase serta dampak tidak langsung melalui efek lanjutan.

"Kalau setiap kenaikan Rp 1.000 per liter dampak inflasinya sekitar 0,4 point presentasi," kata Josua kepada Katadata.co.id.

Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet memperkirakan kenaikan harga BBM bersubsidi akan mengerek inflasi mencapai mencapai level 8% secara tahunan. Ini dengan asumsi harga Pertalite dikerek naik menjadi Rp 10.000 per liter.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), bobot bensin dalam pengeluaran rumah tangga Indonesia mencapai 3,55%, sedangkan dolar menyumbang 0,12%.

Kepuasan Masyarakat

Kenaikan harga BBM kemungkinan juga akan berdampak pada kepuasan masyarakat terhadap Jokowi. Hal ini terlihat usai mantan Wali Kota Solo itu mengerek harga bahan bakar pada November 2014 lalu.

Dari survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI), kepuasan responden terhadap Jokowi sempat anjlok hingga 44,4% di bulan November 2014. Sebagai perbandingan, dalam survei yang juga digelar LSI pada Juli 2022, sebanyak 64% responden puas.

Analis politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto juga mengatakan tak ada waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM dari sisi kepuasan masyarakat. Meski demikian, ia melihat adanya sejumlah pertimbangan mengapa saat ini menjadi waktu yang ideal.

Pertama, adanya stabilitas kepuasan publik terhadap kinerja publik usai anjlok di saat pandemi. Kedua, koalisi partai politik yang realtif solid mendukung pemerintah. Ketiga, posisi oposisi yang tidak terlalu kuat.

Arif memprediksi akan ada tekanan terkait kepuasan masyarakat kepada Jokowi jika menaikkan harga BBM. Namun Presiden memiliki waktu minimal setahun untuk membalikkan situasi.

"Kalau soal daya beli itu bisa dijawab dalam waktu kurang dari setahun, maka bisa positif," katanya kepada Katadata.co.id, Senin (22/8).

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan Jokowi sudah tak seharusnya lagi memikirkan momentum dalam menaikkan harga BBM. Hal ini lantaran Presiden tak memiliki lagi beban politik.

"Karena Presiden sudah tak perlu lagi mempertimbangkan citra politik," kata Hendri.

Reporter: Rizky Alika, Abdul Azis Said