Minta Vivo Naikkan Harga BBM, Pemerintah Dianggap Berlebihan

Anggita Amalia|KATADATA
SPBU Vivo di Jakarta.
Penulis: Happy Fajrian
5/9/2022, 15.15 WIB

Pemerintah telah menaikkan harga BBM bersubsidi per 3 September 2022. Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000 per liter, sedangkan Solar dari Rp 5.150 menjadi Rp 6.800 per liter.

Setelah menaikkan harga Pertalite dan Solar, pemerintah melalui Kementerian ESDM juga meminta SPBU Vivo menaikkan harga BBM RON 89 atau selisih satu angka oktan dengan Pertalite yang saat ini dijual dengan harga Rp 8.900 per liter. Harga ini merupakan harga baru per 1 September 2022 dari sebelumnya Rp 9.900.

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhy menilai permintaan ini tidak tepat karena SPBU swasta di Indonesia memperhitungkan harga jual BBM-nya berdasarkan mekanisme pasar, yakni harga minyak mentah dunia dan berdasarkan pertimbangan dan keputusan bisnis masing-masing perusahaan.

“Itu kurang tepat. Saya kira ini bentuk ketakutan pemerintah karena BBM subsidi Pertalite harganya lebih mahal dibandingkan harga BBM SPBU swasta yang tidak disubsidi. Tapi ketakutan ini menurut saya berlebihan,” ujarnya kepada Katadata.co.id, Senin (5/9).

Fahmy menjelaskan bahwa ketakutan yang ia maksud ada dua. Pertama takut Pertamina ditinggalkan konsumen yang beralih ke BBM besutan Vivo yang lebih murah meski secara kualitas juga lebih rendah dibandingkan Pertalite.

Meski demikian jika itu terjadi, dia memperkirakan SPBU swasta, dalam hal ini Vivo, pada akhirnya akan mengikuti harga Pertamina. Di sisi lain ia juga meragukan Vivo memiliki pasokan BBM RON-89 yang cukup untuk melayani permintaan masyarakat.

“Pertamina itu market leader. Kalau Pertamina menetapkan harga maka SPBU swasta akan mengikuti pada waktunya. Jumlah SPBU swasta juga lebih sedikit, jadi sebetulnya tidak perlu untuk mendorong mereka agar menaikkan harga, tidak sesuai juga dengan mekanisme pasar,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa secara aturan pemerintah tidak bisa meminta atau menginstruksikan agar SPBU menaikkan atau menurunkan harga.

“Kalau naik turun harga perusahaan memberi tahu pemerintah, iya, tapi keputusan ada pada masing-masing perusahaan. Tidak bisa diatur oleh Pertamina, dasarnya adalah perhitungan harga minyak dunia,” tambahnya.

Ketakutan kedua, lanjut Fahmy, adalah terkait harga keekonomian Pertalite. Di mana Vivo mampu menjual Revvo 89 yang kadar oktannya tak berbeda jauh di bawah Pertalite yang RON-90 dengan harga yang murah.

Menurutnya hal ini dapat memunculkan keraguan terkait harga keekonomian Pertalite yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah/Pertamina yang disebut mencapai Rp 17.200 per liter. Pasalnya Vivo dapat menjual Revvo 89 jauh di bawah harga tersebut walau secara kualitas tidak berbeda jauh.

Sedangkan harga keekonomian Pertalite hanya terpaut Rp 2.700 dengan harga keekonomian Pertamax yang kualitasnya lebih baik lagi karena memiliki kadar oktan 92% atau RON-92 yakni Rp 19.900 per liter.

“(Vivo) ini selevel dengan Pertalite, seandainya harga BBM Vivo lebih murah bisa mengindikasikan bahwa sesunguhnya Pertalite sudah di atas harga pasar, karena Vivo tidak mungkin menjual BBM-nya di bawah harga pasar,” kata Fahmy.

Sementara itu Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menduga permintaan pemerintah agar SPBU Vivo menaikkan harga mengikuti harga Pertalite sebagai miskomunikasi semata. Sebab secara aturan pemerintah hanya menerima laporan harga dari badan usaha, tidak sampai tahap memerintahkan kenaikan/turun harga.

“Jika mengacu kepada KepMen ESDM 62/2020 Diktum ketiga, pemerintah hanya pada batasan menerima laporan saja dari Badan Usaha, bukan pada tahapan memerintahkan kenaikan harga swasta,” kata Mamit.

Ia menduga Vivo menjual Revvo 89 dengan harga rugi jika mengacu pada Keputusan Menteri ESDM No.62 Tahun 2020 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum dan/atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.

“Kita hitung dengan ICP Juli sebesar US$ 106 per barrel, tanpa ada benchmark dengan kurs Rp 14.500 itu saja per liternya sudah Rp 9.749. Setelah kita gunakan formula maka didapatkan harga dasar Rp 12.503. Harga tersebut belum termasuk PPn dan PBBKB serta margin perusahaan,” ujarnya.

Oleh karena itu dia menduga strategi harga Vivo untuk BBM RON-89 sebagai strategi marketing. Mamit juga meragukan kemampuan Vivo untuk memasok BBM tersebut agar selalu tersedia di SPBU-nya.

Sebab pada awal Vivo membuka SPBU di Indonesia, kata Mamit, mereka menjual RON-88 atau setara Premium lebih murah dari Pertamina, namun hanya bertahan 1 bulan, setelah itu kembali normal. Kalaupun lebih murah, jumlah SPBU Vivo terbatas sehingga tidak akan rugi besar.

“Jadi gak bener juga kalau dibilang Pertalite murah. Kita ada formulasi harganya kok. Bisa kita hitung sendiri berapa realnya. Meskipun ada plus minus tergantung dari ICP dan kurs yang digunakan,” kata dia.