RI-Norwegia Kolaborasi Turunkan Emisi GRK, Hutan Alam Harus Dilindungi
Yayasan Madani Berkelanjutan mengapresiasi kesepakatan baru antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Norwegia untuk berkolaborasi dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada sektor hutan dan lahan di Indonesia. Kesepakatan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) pada 12 September 2022 ini mendukung pencapaian Indonesia FOLU Net Sink 2030 (IFNET 2030).
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengatakan kesepakatan ini merupakan babak baru kemitraan Indonesia-Norwegia pada bidang lingkungan hidup dan hutan. Hal itu terutama untuk memenuhi target IFNET 2030 yang dicanangkan Pemerintah Indonesia pada awal tahun ini.
"Dan ini merupakan langkah positif karena pencapaian emisi GRK senilai nol atau lebih rendah pada tahun 2030 telah menjadi komitmen Indonesia kepada dunia. Dengan ini kita bisa menunjukkan keseriusan Indonesia kepada dunia dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris,” kata Nadia.
Selain mendukung pertukaran informasi dan pengetahuan, kerja sama ini juga bersifat finansial melalui mekanisme ‘result based contribution’. Menurut Rencana Operasional Indonesia FOLU Net Sink 2030, implementasi kebijakan IFNET 2030 akan membutuhkan dana total senilai Rp 204,02 Triliun.
“Selain dapat berkontribusi terhadap kebutuhan dana pencapaian FOLU Net Sink 2030, kami berharap bahwa MoU antara Pemerintah Indonesia dan Norwegia ini dapat memancing masuknya sumber-sumber pendanaan lainnya,” tambah Nadia.
Melalui IFNET 2030, Indonesia berkomitmen untuk terus meningkatkan penyerapan karbon sebesar 140 juta ton CO2 pada 2030. Artinya, sektor hutan dan lahan akan menjadi kunci dalam membantu pencapaian Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Dengan pencapaian IFNET 2030, dapat merefleksikan tercapainya komitmen iklim Indonesia terutama sektor hutan dan lahan.
Selain itu, Nadia mengatakan, Pemerintah Indonesia juga telah melakukan upaya aksi iklim untuk mengurangi pelepasan karbon dan meningkatkan cadangan karbon. Salah satunya melalui Inpres Moratorium Hutan Permanen, yang melindungi hutan alam primer dan gambut seluas 66,59 juta hektare. Di sisi lain, Indonesia memiliki hutan alam primer dan sekunder seluas 89,7 hektare yang seharusnya juga dilindungi dan dipertahankan keberadaannya.
Sementara itu, menurut analisis Madani pada 2022, masih terdapat hutan alam seluas 9,6 juta hektare yang belum terlindungi oleh kebijakan Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru, Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial dan izin/konsesi. "Pengoptimalan upaya perlindungan dan penyelamatan hutan alam tersisa mulai dari risiko rendah hingga tinggi seharusnya menjadi langkah kunci untuk mencapai ambisi IFNET 2030,” ujar Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan.
Rencana operasional IFNET 2030 memfokuskan perlindungan hutan alam pada wilayah yang memiliki Indeks Prioritas Lokasi (IPL) dengan skala 7-9 atau hutan alam yang memiliki risiko deforestasi tinggi. Sementara dengan perlindungan hutan alam pada IPL 7-9 masih belum mencukupi untuk memenuhi target FOLU Net Sink menuju nol deforestasi, sehingga sangat dimungkinkan untuk melakukan perluasan aksi mitigasi pengurangan laju deforestasi pada risiko rendah-sedang.
”Dengan adanya komitmen Pemerintah Norway dalam mendukung implementasi kebijakan IFNET 2030 ini, seharusnya bisa menjadi salah satu faktor pengungkit untuk memperluas aksi mitigasi, yang tidak hanya berfokus pada wilayah-wilayah berhutan yang berisiko tinggi, melainkan juga wilayah-wilayah berhutan yang berisiko rendah hingga sedang,” tambah Yosi.
Dukungan dan kerja sama bilateral ini tentunya akan memperkuat berbagai komitmen dan aksi iklim yang ada saat ini di Indonesia. Selain pencanangan target ambisius dalam IFNET 2030, Yosi mengatakan, Madani melihat bahwa Indonesia telah berhasil melakukan rehabilitasi mangrove seluas 29.500 hektare di sembilan provinsi prioritas dan 3.500 hektare di 23 provinsi tambahan, berdasarkan data BRGM.
Ditambah, Indonesia juga berhasil merestorasi 835.000 hektare lahan gambut dari 2016 hingga 2020. Sementara untuk mendorong pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sudah ada sekitar 5,07 juta hektare kawasan hutan yang diperuntukkan bagi masyarakat adat dan lokal dalam program perhutanan sosial.
Perjanjian kerja sama antara Indonesia-Norwegia ini juga secara eksplisit menyebutkan penguatan partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan demi pengurangangan emisi GRK. Hal ini sejalan dengan upaya mengedepankan peran dan keterlibatan masyarakat dalam mendukung pembangunan berkelanjutan pada sektor hutan dan lahan.
“Masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki koneksi yang erat dengan alam yang menanamkan nilai-nilai kebudayaan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan untuk mewujudkan lingkungan hidup dan hutan yang lestari. Di samping itu, masyarakat sebagai katalisator pembangunan yang memegang peranan penting dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga patut untuk didukung, utamanya dalam hal finansial,” kata Resni Soviyana, Program Officer Green Development Yayasan Madani Berkelanjutan.
Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada tahun 2019. Data ini tercatat dalam Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV) yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021. Sektor energi menjadi penyumbang terbesar.