Revisi KUHP Bisa Sah Jadi Undang-Undang Akhir Tahun Ini

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/YU
Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan orasi kebangsaan saat menghadiri pelantikan pengurus DPW dan Delapan DPD IKA UII wilayah Sumatera Selatan periode 2021-2026 di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (18/6/2022).
22/9/2022, 13.12 WIB

Pengesahan revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk menjadi landasan hukum di Indonesia, semakin dekat. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, mengatakan pembahasan naskah revisi sudah memasuki tahap finalisasi. 

"Ini sudah dibahas selama 59 tahun dan sudah hampir final. Bahkan sudah dikatakan final tapi dibersihkan terlebih dahulu dari hal-hal yang sifatnya teknis," ujar Mahfud MD usai Dialog RUU KUHP, di Surabaya, Rabu (21/9) seperti dikutip Antara.

Mahfud menambahkan proses pengesahan RUU KUHP masih membutuhkan pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Setelah pembahasan selesai, pengesahan akan dilakukan bersama dengan pemerintah. Ditargetkan naskah revisi ini dapat disahkan menjadi undang-undang (UU) pada akhir tahun nanti.

"Insyaallah akhir tahun ini RKUHP sudah bisa disahkan jadi UU oleh DPR RI bersama pemerintah," kata dia.

Menurutnya RUU KUHP sudah mengakomodasi kebutuhan banyak pihak, setelah mendapatkan masukkan dari berbagai kepentingan, aliran, paham, situasi, budaya, serta kelompok lainnya. "Tinggal dilanjutkan menjadi satu namanya, visi bersama tentang Indonesia," ujar dia.

Selain itu, sudah ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR mengenai 14 isu krusial pada RUU KUHP.

  1. Living law atau hukum adat yang tidak memiliki aturan tertulis. RUU KUHP mengakui penerapan hukum tersebut. 
  2. Pidana mati. RUU KUHP menempatkannya sebagai pilihan terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana.
  3. Kebebasan berpendapat. Poin penting terkait isu ini ialah penghinaan kepada kepala negara yang diatur dalam Pasal 218 RUU KUHP.
  4. Pasal terkait aksi santet, guna-guna, atau hal gaib. Aturan ini menyasar mereka yang mengiklankan diri memiliki kekuatan gaib untuk mencelakakan orang lain. Pemerintah mengakui tindak pidana ini merupakan tindak pidana baru khas Indonesia yang perlu dikriminalisasi, karena sifatnya dapat menimbulkan tindak pidana lain.
  5. Penghapusan pasal tentang dokter dan dokter gigi yang menjalankan pekerjaan tanpa izin. Hukumannya tidak dalam bentuk kurungan badan.
  6. Unggas yang merusak kebun atau lahan yang telah ditaburi benih. Aturan ini menjadi delik materiil.
  7. Aturan mengenai penodaan agama dibuat lebih spesifik. Pasal ini menyasar pada tindakan yang menunjukkan upaya permusuhan, menghasut, dan penghinaan terhadap agama tertentu.
  8. Tindak pidana penganiayaan hewan. Hal ini mengarah kepada tindakan eksploitasi hewan dengan tujuan yang tidak patut.
  9. Tindakan aborsi. Membatasi pelaku aborsi yang bisa dipidana, dengan mengecualikan korban kasus pemerkosaan apabila usia kehamilan di bawah 6 minggu.
  10. Kohabitasi atau tinggal bersama dalam ruang privat. Kasus ini mengarah kepada perzinahan, di mana pasangan yang belum menikah tetapi sudah tinggal bersama terancam dipidana.
  11. Penggelandangan masyarakat, di mana seseorang yang menggelandang dapat diproses hukum ketika dianggap mengganggu ketertiban umum.
  12. Menunjukkan alat pencegah kehamilan kepada anak.
  13. Aksi contempt of court atau penghinaan terhadap pengadilan. KUHP mengatur secara khusus mengenai tindakan merekam video persidangan, karena berpotensi membocorkan keterangan saksi kepada saksi lain yang belum memberikan keterangan. 
  14. Penghapusan aturan pidana terhadap advokat yang curang.

Meski sudah terjadi harmonisasi antara pemerintah dan DPR, sejumlah pihak masih mengkritisi naskah RUU KUHP. Salah satunya Dewan Pers, yang menilai naskah ini masih berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Hal ini terutama terkait dengan pasal penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, dan penghasutan untuk melawan penguasa umum.

Ketua Dewan Pers, Prof. Azyumardi Azra, yang memimpin Tim Formulasi Dewan Pers, menegaskan secara prinsip sepakat dengan upaya pemerintah melakukan dekolonisasi KUHP. Hal ini lantaran aturan tersebut menjadi peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

“Sudah 77 tahun kita merdeka. Sudah semestinya kita punya KUHP produk sendiri,” tutur Prof Azra saat bertemu dengan Komisi III DPR, Rabu (24/8) lalu.

Senada dengan Dewan Pers, dalam sebuah survei yang digelar Litbang Kompas terungkap mayoritas publik menolak naskah RUU KUHP tersebut disahkan. 

Di antara responden yang tidak setuju ini, 70,7% menganggap RKUHP masih memuat pasal yang "mengganjal" atau bermasalah.
 

Reporter: Antara