Banyaknya peraturan dan kebijakan yang dibuat pemerintah pascareformasi memunculkan kompleksitas dan tumpang tindih. Tak sedikit pihak kebingungan untuk beradaptasi, baik masyarakat umum, praktisi hukum, maupun pelaku usaha.
Laporan Global Business Complexity Index 2022 yang dirilis TMF Group menempatkan Indonesia pada ranking ke-11 secara global di dalam hal kompleksitas kebijakan. Tak hanya itu, di Kawasan Asia Pasifik, Indonesia menjadi negara dengan peraturan perundang-undangan paling kompleks bila dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia (22), Filipina (30), atau Vietnam (42).
Tidak hanya soal kompleksitas, kebijakan-kebijakan baru di Indonesia pun bermunculan dalam rentang waktu yang relatif singkat. Berdasarkan data yang dihimpun Hukumonline, setidaknya terdapat 3.000 penambahan peraturan baru setiap tahun di Tanah Air.
Kondisi tersebut semakin kompleks jika dipakai asumsi bahwa setiap subjek dan praktisi hukum seakan harus mengetahui segala peraturan yang berlaku, termasuk yang baru saja disahkan. Sementara itu, bagi pengusaha, banyaknya jumlah serta dinamisnya regulasi di Indonesia menjadi tantangan tersendiri dalam mematuhinya.
“Bisa dikatakan, kompleksitas bidang hukum di Indonesia bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan hal-hal yang konvensional. Kita memang harus menggunakan teknologi, karena ini sudah masuk klasifikasi big data. Volume-nya besar, variety-nya (jenis peraturan) banyak, velocity-nya (penambahan peraturan) juga cepat,” kata CEO Hukumonline Arkka Dhiratara kepada Katadata (16/9/2022).
Berkaca kepada kondisi yang ada, Hukumonline selaku regulatory-tech company menciptakan terobosan bernama Regulatory Compliance System (RCS). Ini merupakan teknologi berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang berfungsi membantu perusahaan memantau tingkat kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
“Hukumonline memberikan produk ini sebagai Software As A Service (SAAS). Sehingga para pelaku usaha bisa mulai menggunakan RCS tanpa diperlukannya instalasi atau proses teknis lain yang sulit. Namun, kami juga memberikan opsi instalasi secara on-premise sesuai preferensi masing-masing pelanggan,” ujar Arkka.
Arkka mengimbuhkan, melalui sistem ini perusahaan bisa langsung mendapatkan list of information regulasi dan kewajiban apa saja yang harus dipatuhi terkait business activities yang dijalankan perusahaan tersebut.
“Misalnya, perusahaan manufaktur di bidang makanan, maka pada RCS akan terlihat berapa banyak peraturan terkait untuk bisnis tersebut. Yang mana peraturan-peraturan itu bersumber dari pusat data Hukumonline yang senantiasa diperbaharui,” tuturnya.
RCS diklaim dapat meningkatkan efisiensi pemenuhan kewajiban hukum hingga 5 kali lipat. Berkat dukungan ratusan ribu peraturan perundang-undangan yang ada di database Hukumonline, RCS menjamin pelaku usaha tidak akan melewatkan update informasi seputar peraturan terbaru.
“Kalau dari klaim kami, dengan menggunakan RCS bisa mengurangi kebutuhan staf compliance 5 – 7 orang headcount, dengan harga senilai 1 headcount. Jadi, efisiensinya cukup besar,” ucap Arkka.
Lebih jauh ia menjelaskan, “Kalau klaim dari kami, RCS dapat menjadi aset dan sumber daya yang bermanfaat bagi tim perusahaan. Fitur yang ditawarkan oleh RCS mampu mengotomatiskan berbagai aktivitas terkait kepatuhan hukum yang seharusnya dilakukan oleh manusia. Sehingga, kepatuhan hukum dapat tercapai secara optimal dengan tim yang ada, Jadi, efisiensinya cukup besar.”
Melalui RCS, daftar peraturan yang harus dipatuhi suatu entitas bisnis diperoleh melalui bantuan AI. Kemudian, hasilnya disajikan dalam bentuk kewajiban hukum dan actionable items yang perlu dilaksanakan oleh perusahaan terkait.
“Jadi dari peraturan-peraturan terkait tadi, oleh engine akan diproses untuk menghasilkan regulatory framework-nya. Yaitu, kewajiban-kewajiban yang perlu diketahui dan dilaksanakan oleh perusahaan bersangkutan,” kata Arkka
Tak hanya memberikan daftar peraturan dan kewajiban hukum, RCS juga memiliki fitur untuk memastikan pelaku usaha benar-benar mematuhi aturan yang berlaku.
“Jadi ada fitur workflow juga. Misalkan, ada kebutuhan untuk harus punya izin lokasi, nah itu nanti proses dari internal perusahaan yang bisa melakukan klaim apakah izinnya sudah didapatkan atau belum. Kemudian tim auditor internal memastikan izin lokasi sudah tepat atau belum, kalau sudah tepat berarti comply (patuh),” ucapnya.
Menurut Arkka, RCS mungkin sistem pertama yang bisa secara mudah mengkuantifikasikan tingkat compliance (kepatuhan) perusahaan dalam bentuk persentase.
Ditanya soal permasalahan-permasalahan yang umum dihadapi pelaku usaha terkait kepatuhan hukum, Arkka menyinggung perihal besarnya tanggung jawab tim legal perusahaan dan risiko yang akan dihadapi, sehingga metode yang digunakan perusahaan dalam memantau perkembangan kebijakan relatif tertinggal.
“Misalnya di perusahaan konglomerasi besar, ruang lingkup yang harus dipantau oleh tim legal sangat luas dan memiliki risiko yang tinggi,” tutur dia.
Sejauh ini, Hukumonlinemembantu sedikitnya sepuluh perusahaan besar dalam memenuhi kepatuhan dan kewajiban hukum. Semua perusahaan yang berkolaborasi dengan Hukumonline bergerak di bidang-bidang yang memiliki peraturan ketat seperti pertambangan dan manufaktur. Namun, Arkka menjelaskan, platformnya mulai membuka kerja sama dengan pelaku usaha di sektor lain.
“Sejak 2022, kita sudah terima leads dari berbagai industri, beberapa e-commerce ternama juga sudah mulai jadi pelanggan RCS. Jadi ada dari e-commerce, ada dari finance sector, cuma itu masih kisaran perusahaan besar dan menengah,” kata Arkka.
Ditanya soal rencana pengembangan RCS, Arkka menyebut ke depannya Hukumonline akan membuka kemitraan dengan usaha-usaha kecil dan UMKM. Ia juga menegaskan bahwa harga jasa yang ditawarkan akan turut menyesuaikan dengan nilai keekonomian perusahaan.
Apabila Anda tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut terkait Regulatory Compliance System, Anda dapat mengakses bit.ly/RCSxKatadata atau mengajukan demo secara gratis melalui bit.ly/WA-RCSxKatadata.