Kementerian Kesehatan atau Kemkes mencatat tingkat kematian penyakit Gangguan Ginjal Akut Atipikal (GGAA) secara tahun berjalan telah mencapai 48%. Hal tersebut dinilai disebabkan oleh ganasnya GGAA pada anak.
Juru Bicara Kemenkes Syahril mengatakan mayoritas GGAA ditemukan pada anak dengan usia di bawah 5 tahun. Hingga 18 Oktober 2022, total kasus GGAA yang telah dilaporkan dari 20 provinsi mencapai 206 kasus. Dari angka tersebut, sebanyak 99 anak meninggal dunia.
"Tingkat kematian 48% di mana angka kematian pasien, khususnya di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan penyakit ginjal mencapai 65%," kata Syahril dalam konferensi pers virtual, Rabu (19/10).
Syahril mengatakan tingginya angka kematian disebabkan terganggunya metabolisme anak akibat GGAA. Ini karena ginjal merupakan organ yang sangat penting di dalam tubuh karena menjaga metabolisme dalam tubuh.
Secara umum, GGAA dapat dibagi menjadi tiga stadium. Adapun, stadium I dan II dapat ditangani dengan terapi konsumsi obat.
Sementara itu, GGAA stadium III hanya dapat ditangani dengan praktik cuci darah atau hemodialisis. GGAA stadium III ditandai berhentinya produksi urin oleh pasien. "Tingkat kematian GGAA tinggi karena kebanyakan pasien sudah masuk ke dalam fase itu," kata Syahril.
Oleh karena itu, Syahril mengimbau para orang tua untuk mewaspadai GGAA pada anak. Menurutnya, tanda-tanda yang harus diperhatikan adalah penurunan volume urin yang signifikan, yang bisa disertai gejala lain, seperti demam, diare, mual, batuk, dan pilek.
Untuk mengurangi kasus GGAA, Syahril mengatakan Kemenkes telah menghentikan penjualan obat berbentuk cair maupun sirup di apotek maupun rumah sakit. Obat yang dimaksud adalah obat resep maupun obat warung atau over the counter (OTC)
Langkah tersebut dilakukan lantaran penyebab GGAA diduga bukan hanya datang dari kandungan obat, namun juga komponen lain yang menyebabkan intoksikasi. Oleh karena itu, Syahril meminta para tenaga kesehatan untuk meresepkan obat dalam bentuk padat, seperti kapsul maupun tablet.
Sebelumnya, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi Nefrologi IDAI, Eka Laksmi Hidayati menilai deteksi dini menjadi penting untuk menghindari tindakan cuci darah pada anak. Tindakan cuci darah diperlukan jika GGAA pada anak telah mencapai stadium tiga.
Sementara untuk stadium awal, masih dapat dilakukan tindakan dengan terapi konsumsi obat. Eka juga menekankan anak yang menderita GGAA dapat sembuh total. Meski demikian, anak tersebut harus rutin melakukan kontrol ke dokter setidaknya setahun sekali selama 5 tahun ke depan.
Di samping itu, Eka juga mengingatkan mengenai terbatasnya fasilitas cuci darah di dalam negeri. Eka mendata pusat cuci darah anak di Ibu Kota adalah Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Anak & Bunda Harapan Kita.
"Sehingga tidak efisien untuk menyediakan alat cuci darah di banyak tepat. Ketika ada lonjakan gangguan ginjal, kami akan menentukan pusat-pusat cuci darah anak," kata Eka.