Kementerian Kesehatan telah meminta fasilitas kesehatan hingga apotek menghentikan sementara penjualan obat sirup. Hal ini lantaran adanya kasus gagal ginjal akut yang membuat hampir 100 anak meninggal.
Sebagai alternatif, Kemenkes meminta orang tua menggunakan obat dengan bentuk lain kepada anaknya. Beberapa di antaranya yang berbentuk tablet, injeksi, kapsul, atau supositoria (dimasukkan lewat anus).
"Kemenkes juga mengimbau masyarakat memberikan pengobatan anak tanpa berkonsultaasi dengan tenaga kesehatan," kata Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/10).
Penghentian sementara penggunaan obat sirup ini dilakukan karena kemungkinan adanya komponen yang membuat intoksikasi dan berujung gagal ginjal akut. Kemenkes juga memastikan larangan penjualan ini tak hanya berlaku bagi jenis parasetamol.
"Kami berhentikan sementara sampai penelusuran selesai," kata Syahril.
Syahril lalu meminta para orang tua mewaspadai gejala ganjal ginjal akut pada anak. Beberapa di antaranya adalah penurunan jumlah air seni hingga turunnya frekuensi buang air.
"Bisa dengan atau tanpa demam, diare, batuk, pilek, mual, dan mintah," kata Syahril.
Kemenkes mencatat tingkat kematian penyakit Gangguan Ginjal Akut Atipikal (GGAA) telah mencapai 48%. Hingga 18 Oktober 2022, total kasus GGAA yang telah dilaporkan dari 20 provinsi mencapai 206 kasus. Dari angka tersebut, sebanyak 99 anak meninggal dunia.
"Tingkat kematian 48% di mana angka kematian pasien, khususnya di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan penyakit ginjal mencapai 65%," kata Syahril.
Sebelumnya, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi Nefrologi IDAI, Eka Laksmi Hidayati menilai deteksi dini menjadi penting untuk menghindari tindakan cuci darah pada anak akibat gagal ginjal akut. Tindakan cuci darah diperlukan jika GGAA pada anak telah mencapai stadium tiga.
ementara untuk stadium awal, masih dapat dilakukan tindakan dengan terapi konsumsi obat. Eka juga menekankan anak yang menderita GGAA dapat sembuh total. Meski demikian, anak tersebut harus rutin melakukan kontrol ke dokter setidaknya setahun sekali selama 5 tahun ke depan.