Tangkis Kabar Hoaks, Sekolah dan Kampus Perlu Ajarkan Materi Cek Fakta

ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.
Warga melewati mural (lukisan dinding) komik antihoaks di Kampung Hepi, Joho, Manahan, Solo, Jawa Tengah, Selasa (7/4/2020).
26/10/2022, 08.06 WIB

Kalangan masyarakat pendidik, orang tua, jurnalis, pengamat pendidika dan pegiat literasi digital sepakat bahwa sekolah hingga kampus perlu memberi pengajaran atau literasi materi cek fakta dan literasi media. Hal itu terkait banyaknya hoaks, kabar bohong dan fitnah yang marak beredar di masyarakat.

Kesepakatan tersebut mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta, pada 24-24 Oktober 2022.

Materi cek fakta itu diyakini sebagai imunisasi bagi siswa dan mahasiswa agar mereka tahu membedakan fakta dan hoaks yang bertebaran melalui gawai dan piranti digital lainnya.

“Tujuannya untuk mengembangkan nalar kritis siswa dan mahasiswa. Apa yang harus mereka lakukan saat menerima informasi, sehingga mereka memiliki skill memilah mana hoaks, mana fakta. Tidak mudah terlena oleh informasi yang mereka terima dari medsos maupun media perpesanan,” ujar Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo, Selasa (25/10).

AJI, AMSI, dan Mafindo didukung Google News Initiative memiliki platform cekfakta.com yang berisi cek fakta terhadap hoaks di masyarakat. Untuk melebarkan jangkauan edukasi soal cek fakta ini, perlu memasukkan materi cek fakta ke sekolah dan kampus.

Advokasi kebijakan pemerintah

Materi cek fakta ini perlu diintegrasikan dalam pelajaran di sekolah dan kampus. Oleh sebab itu, perlu ada advokasi kebijakan agar pemerintah dalam hal ini Kemendikbud Ristek menerima gagasan tersebut.

Pengamat pendidikan, Darmaningtyas, dalam FGD mengatakan bahwa strategi yang tepat memasukkan materi cek fakta dan literasi media adalah dengan cara intervensi dan terintegrasi dalam sejumlah mata pelajaran.

"Yang dipentingkan adalah nalar kritis saat menghadapi informasi dan itu bisa dimasukkan dalam sejumlah mata pelajaran," ujarnya.

Semua peserta menganggap materi cek fakta penting diajarkan kepada siswa dan mahasiswa apalagi menjelang Pemilu 2024. Anak muda kerap menjadi sasaran karena memiliki penetrasi internet yang tinggi.

Penetrasi internet kalangan anak muda usia 13-18 tahun mencapai 99,16% dan 18-34 tahun mencapai 98,64%.

Beberapa studi tentang literasi digital di kalangan generasi Z dan milenial menunjukkan adanya kecakapan yang cukup dalam penggunaan media digital. Potensi yang dimiliki oleh anak muda ini tentu harus diiringi dengan literasi media agar dapat lebih bijak dalam menggunakan media sosial.

Karena itu, Mafindo, AMSI, dan AJI menggandeng berbagai pihak untuk menyiapkan advokasi kebijakan agar materi cek fakta dan literasi media bisa diakomodasi dalam kurikulum pendidikan di sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Bentuk dan caranya beragam. Bisa mengintegrasikan dalam mata pelajaran maupun ekstra kurikuler.

 Survei Kementerian Kominfo dan Katadata Insight Center (KIC),banyak masyarakat Indonesia yang cenderung rawan terpapar disinformasi ataupun misinformasi. Dari 10.000 responden, sebanyak 26,7% biasa mengakses portal berita online untuk mendapatkan informasi.

Kendati demikian, kebanyakan orang tampaknya belum terbiasa menyaring berita yang mereka konsumsi.

Survei ini menemukan, mayoritas atau 60,9% responden tidak pernah memeriksa alamat situs berita yang aneh. Semisal, situs yang namanya dimirip-miripkan dengan media arus utama seperti Kompass.com dan sebagainya. Pengecekan alamat situs ini hanya sering dilakukan oleh 7% responden.

Kemudian 58,7% responden mengaku tidak pernah membaca bagian "About Us" atau "Tentang Kami" di suatu situs berita. Pengecekan latar belakang ini hanya sering dilakukan oleh 7% responden.

Ada juga 44,7% responden yang mengonsumsi berita hanya dari satu sumber saja. Sedangkan yang sering membaca lebih dari satu sumber hanya 17%.