Menkes Sebut Premi BPJS Kesehatan Harus Naik pada 2025, Apa Sebabnya?

ANTARA FOTO/ Irwansyah Putra/foc.
Warga memperlihatkan kartu Indonesia sehat dari BPJS untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di RSUD Meuraxa, Banda Aceh, Aceh, Selasa (5/7/2022).
23/11/2022, 16.42 WIB

Kementerian Kesehatan menyatakan premi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan harus naik pada 2025. Kenaikan premi tersebut sejalan dengan meningkatnya inflasi nasional tiap tahunnya.

Selain itu, Kemenkes akan meningkatkan kualitas pelayanan pada peserta BPJS Kesehatan kelas tiga menjadi sama dengan kelas dua. Peningkatan layanan tersebut akan ditalangi oleh surplus BPJS Kesehatan saat ini yang mencapai Rp 52 triliun. Artinya, premi peserta BPJS Kesehatan tidak akan naik walau kualitas pelayanan meningkat mulai 2023.

"Enggak mungkin rumah sakit tidak menaikkan gaji karyawannya, tinggal bagaimana kita bisa mengedukasi masyarakat bahwa kenaikan premi ini salah satu hal yang wajar dilakukan," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (22/11).

Budi menilai penundaan kenaikan tarif peserta BPJS Kesehatan kepada masyarakat sulit dilakukan secara politik saat ini. Meski demikian, ia berpendapat pembiayaan BPJS Kesehatan penting untuk mulai dibicarakan saat ini untuk menjaga keberlanjutan badan tersebut.

Pasalnya, biaya kesehatan per kapita di dalam negeri akan meningkat signifikan dalam 5 tahun ke depan. Budi mencatat biaya kesehatan per kapita Indonesia saat ini US$ 112 per tahun dengan rata-rata harapan hidup 72 tahun.

Dalam 5 tahun, Budi menilai rata-rata harapan hidup di dalam negeri akan menyamai rata-rata hidup di Malaysia saat ini atau hingga 76 tahun. Adapun, biaya kesehatan per kapita di Malaysia saat ini adalah US$ 432 dolar.

Dengan kata lain, biaya kesehatan per kapita Indonesia akan naik US$ 300. Jika dikalikan dengan total penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta orang, biaya kesehatan nasional pada 2027 mencapai sekitar Rp 1.700 triliun.

"Bagaimana bisa BPJS Kesehatan menanggung Rp 1.700 triliun? Itu sebabnya masalah pembiayaan harus di-address dan menurut saya pribadi isu standarisasi kelas ini harus dibereskan," kata Budi.

Standarisasi kelas yang dimaksud Budi adalah implementasi program Kelas Rawat Inap Standar atau KRIS. Secara sederhana, program tersebut mewajibkan rumah sakit untuk menaati 12 standar dalam ruangan rawat inap.

Adapun, dampak langsung yang dirasakan masyarakat dari implementasi KRIS adalah peningkatan kualitas layanan. Pasalnya, pelayanan antara peserta BPJS kelas 3 dan kelas 2 akan hampir sama dengan program tersebut.

Setelah penyamaan layanan, pemerintah akan menyasar peserta BPJS Kesehatan berpendapatan tinggi untuk tidak mengambil hak masyarakat berpendapatan rendah dan miskin. Budi menilai langkah tersebut bertujuan agar mengurangi beban BPJS Kesehatan dan membuat subsidi BPJS Kesehatan lebih tepat sasaran.

Budi berencana untuk memeriksa 1.000 peserta BPJS Kesehatan yang paling menguras kantong BPJS Kesehatan. Caranya, memeriksa aliran arus kas dan tagihan listrik rumah 1.000 peserta tersebut.

Budi mencatat saat ini banyak konglomerat yang masih menggunakan layanan BPJS Kesehatan saat berobat ke rumah sakit. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri menilai orang-orang tersebut merupakan salah satu alasan kenapa defisit BPJS beberapa tahun terakhir.

Oleh karena itu, ia berencana untuk mengombinasikan layanan BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta. Tujuannya agar orang-orang kaya tetap membayar premi BPJS Kesehatan dan membantu orang miskin berobat. Namun biaya kesehatan orang kaya akan dibantu oleh asuransi swasta.

"Dengan demikian, tidak mengurangi layanan ke masyarakat, tapi mendudukkan secara adil dan BPJS bisa mencakup biaya kesehatan seluruh masyarakat secara berkelanjutan ke depannya," kata Budi.

Reporter: Andi M. Arief