Waktu menjadi salah satu hal penting. Bahkan dapat dibilang waktu adalah uang. Namun adakalanya kita lupa akan hal tersebut, dan malah membuang-buang waktu yang dimiliki. Ada berbagai cara yang dapat digunakan untuk mengingat betapa berharganya waktu, salah satunya dengan puisi tentang waktu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), puisi merupakan karya sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik, dan bait. Sedangkan menurut Heman J. Waluyo, puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran serta perasaan penyair secara imajinatif dan kemudian disusun dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan batinnya
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang berisi rangkaian tulisan atau diksi yang saling terhubung antara satu dengan yang lainnya. Dengan menulis puisi, seseorang bisa bebas mengekspresikan perasaan terhadap suatu hal, termasuk sebagai mengingat betapa berharganya waktu. Dikutip dari laman pelajar.web.id, berikut contoh dan inspirasi puisi tentang waktu dari penyair-penyair Indonesia.
1. Menyulam Waktu
Perempuan itu
nyatanya terlalu menginginkan hujan
Ingin mendekap, dalam-dalam
Sayangnya, hujan enggan cepat didekap
Ia harus menghitung putaran detik di jam dinding kamarnya
Berminggu-minggu, berbulan-bulan
Sampai bayi merah kini telah merupa mawar merekah
"Jangan hanya menunggu, lakukan sesuatu" ucap rintik di satu waktu
Maka bila suatu saat nanti hujan tak mau lagi
Mengalirkan harap pada dekap
Setidaknya dada puan itu telah kuyup oleh gerimis
Namun
Mata air yang katamu benar bening,
nyatanya telah kering oleh sajak yang dituturnya tiap-tiap malam
Perempuan itu,
telah beku.
2. Merawat Rindu
Masih yang tulus ku rasa
sedetik pikiran tanpa tak meluka
dengan sebingkai noda paling indah merona
"La-la-la-la" denting relungku menjajaki hamparan jiwa
Sebuah senyum di ujung waktu penuh rana
Mungkin yang setia ku bawa
memantik rindu tak bertepi dengan raga
merajut waktu kalbu dengan nyawa
Apalah sebuah nada "sya-da-du-du-da-da"
hayalku tak pernah luput tanpa dia
Serbuk detik ku tumpuk
Misiu menit ku genggam
Debu jam ku jadikan tumpu
Tak peduli tampungan tahun
yang ku tahu hanya menyulam waktu
Hayal bukan berarti ku tak berakal
Mati bukan berarti ku tak mampu menari
Gila bukan berarti ku tak berdaya
Ini hanya ku tak suka bahagia
tanpa dia yang selalu di dada, selamanya.
3. Putaran Ambisi
Degup jantung menghempas ke seluruh tubuh
Memanaskan tujuan tiap kalo tak sejalan
Luapkan ambisi seisi tubuh
Yang menggoncang ruang putaran
Derai langkah terus berjalan
Dibelakang waktu
Melampaui tiap-tiap keinginan yang mulai memuncak
Hingga melupakan sibuknya menuju jalan yang abadi
Tanpa pikiran yang tenang
Maka hari ini
Akan ku sumpah
Waktu lah yang selalu menungguku
4. Menantimu
Denting demi denting waktu terlalu cepat bergerak.
Tetes demi tetes embun terlalu cepat mengering.
Sirat demi sirat sinar terlalu cepat tersebar. Namun mataku..
Terbujur kaku menatap satu titik semu pada sebidang pintu itu.
Tempat dimana bayang sosoknya tiba.
Tempatku berjumpa dengan kehangatan. Butiran debu berbisik mengajakku pergi.
Namun kursi tua ini terlalu nyaman untuk ku beranjak.
Aku terjebak pada waktu yang enggan menjawab kapan sosok itu tiba.
Besitan demi besitan bayangnya temani jenuhku.
Buatku semakin enggan tuk bergerak.
Ku perangi arus kesunyian.
Ku arungi arus kejenuhan.
Ku sulam waktu demi waktu.
Untuk menghangatkanmu dengan rajutan kasih.
5. Takdirku
Sejak menatap dunia, aku bernafas dalam penjara
Penjara yang membuatku sekilas nampak remaja
Namun bahkan terhadap asa aku hanya menyapa
Lalu kau tanpa sengaja melintasi senja
Dimana aku sempat mencoba
Terbangun dari semua ilusi belaka
Yang sering ku anggap nyata
Selaksa gemintang menjadi saksi
Penantian dalam yang ku simpan di hati
Tentang sebuah rasa yang sepi
Karena sebuah nama yang tanpa sengaja hinggapi
Penjaraku tak lagi senyap
Sebab pikirku kini tlah lenyap
Ikuti langkah kecilmu yang berderap
6. Penantian Tanpa Ujung
Aku masih di sini
Menantimu untuk kembali
Ulangi kisah yang pernah tertulis
Dengan tinta merah pena cintamu
Kini setelah kau pergi
Hidupku hampa tanpa dirimu
Berselimut angin kesunyian
Mendekap rindu dalam sendu
Awan mendung hiasi wajah
Datangkan hujan air mata
Luapkan banjir penuh duka
Di dalam badai kerinduan
Hari-hariku sepi tanpamu
Malamku sunyi tanpa dirimu
Hatiku panas tidak terkira
Dibakar api gejolak rindu
Kini diriku telah terjebak
Dalam penantian tanpa ujung
Berharap dirimu kembali lagi
Kau... yang kini telah tiada
7. Selisik
Separuh detik
Angin datang pada musim klasik
Ada
Diaroma
Seratap duka dalam kurun tanpa masa
Pagi itu
Angin klasik menerobos dinding
Sedang, jarum kecil masih memeluk detik-detik panjang
Sepotong kain bernama waktu teronggok
Belum selesai sang penyulam bekerja, namun ia sudah merongok
Kain itu punyaku
Selisik
Detik klasik
Bisakah aku meminta kau melanjutkan langkah yang belum berirama?
Atau, bisakah aku meminta hal sederhana ;
Jadilah penyulam waktuku dengan detik-detik panjangmu.
Suatu tempat, suatu waktu