9 Kumpulan Puisi Chairil Anwar yang Menginspirasi

ANTARA FOTO/Darryl Ramadhan/wsj.
Ilustrasi, seseorang memotret puisi karya Chairil Anwar.
Editor: Agung
2/12/2022, 13.55 WIB

Chairil Anwar merupakan salah satu penyair terkemuka di Indonesia. Semasa hidupnya, Chairil Anwar tercatat telah melahirkan 96 karya sastra, di mana 70 di antaranya adalah puisi. 

Puisinya sendiri memiliki banyak tema, mulai dari percintaan, individualisme, eksistensialisme, hingga kematian. Tidak hanya itu, setiap puisinya juga disusun dengan kata-kata yang puitis serta memiliki makna yang mendalam. Bila tertarik dengan puisi-puisinya, simak kumpulan puisi-puisi karya Chairil Anwar berikut ini.

Puisi Chairil Anwar

Berikut ini sembilan kumpulan puisi karya Chairll Anwar dengan berbagai tema yang menginspirasi. 

1. Cintaku jauh di pulau

Cintaku jauh di pulau,

gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,

di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.

angin membantu, laut terang, tapi terasa

aku tidak kan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,

di perasaan penghabisan segala melaju

Ajal bertakhta, sambil berkata:

“Tujukan perahu ke pangkuanku saja,”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!

Perahu yang bersama kan merapuh!

Mengapa ajal memanggil dulu

Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,

kalau kumati, dia mati iseng sendiri

2. Sajak Putih

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

Sepi menyanyi

Malam dalam mendoa tiba

Meriak muka air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah

3. Rumahku

Rumahku dari unggun timbun sajak

Kaca jernih dari luar segala nampak

Ku lari dari gedong lebar halaman

Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah ku dirikan ketika senja kala

Di pagi terbang entah ke mana

Rumah ku dari unggun timbun sajak

Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi

Tapi datangnya datang

Aku tidak lagi meraih petang

Biar berleleran kata manis madu

Jika menagih yang satu

4. Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia.

Bulan yang menyinar ke dalam

mau lebih banyak tahu.

“Sudah lima anak bernyawa di sini,

Aku salah satu!”

Ibuku tertidur dalam tersedu,

Keramaian penjara sepi selalu,

Bapakku sendiri terbaring jemu

Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!

Aku minta adik lagi pada

Ibu dan bapakku, karena mereka berada

di luar hitungan: Kamar begini,

3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

5. Suara Malam

Dunia badai dan topan

Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”*

Jadi ke mana

Untuk damai dan reda?

Mati.

Barang kali ini diam kaku saja

dengan ketenangan selama bersatu

mengatasi suka dan duka

kekebalan terhadap debu dan nafsu.

Berbaring tak sedar

Seperti kapal pecah di dasar lautan

jemu dipukul ombak besar.

Atau ini.

Peleburan dalam Tiada

dan sekali akan menghadap cahaya.

……………………………………………………

Ya Allah! Badanku terbakar – segala samar.

Aku sudah melewati batas.

Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

6. Aku

Kalau sampai waktuku

‘Ku mau tak seorang‘kan merayu

Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

7. Taman

Taman punya kita berdua

tak lebar luas, kecil saja

satu tak kehilangan lain dalamnya.

Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna

Padang rumputnya tak berbanding permadani

halus lembut dipijak kaki.

Bagi kita bukan halangan.

Karena

dalam taman punya berdua

Kau kembang, aku kumbang

aku kumbang, kau kembang.

Kecil, penuh surya taman kita

tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

8. Kesabaran

Aku tak bisa tidur

Orang ngomong, anjing nggonggong

Dunia jauh mengabur

Kelam mendinding batu

Dihantam suara bertalu-talu

Di sebelahnya api dan abu

Aku hendak berbicara

Suaraku hilang, tenaga terbang

Sudah! tidak jadi apa-apa!

Ini dunia enggan disapa, ambil perduli

Keras membeku air kali

Dan hidup bukan hidup lagi

Kuulangi yang dulu kembali

Sambil bertutup telinga, berpicing mata

Menunggu reda yang mesti tiba

9. Siap Sedia

kepada angkatanku

Tanganmu nanti tegang kaku,

Jantungmu nanti berdebar berhenti,

Tubuhmu nanti mengeras batu,

Tapi kami sederap mengganti,

Terus memahat ini Tugu,

Matamu nanti kaca saja,

Mulutmu nanti habis bicara,

Darahmu nanti mengalir berhenti,

Tapi kami sederap mengganti,

Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.

Suaramu nanti diam ditekan,

Namamu nanti terbang hilang,

Langkahmu nanti enggan ke depan,

Tapi kami sederap mengganti,

Bersatu maju, ke Kemenangan.

Darah kami panas selama,

Badan kami tertempa baja,

Jiwa kami gagah perkasa,

Kami akan mewarna di angkasa,

Kami pembawa ke Bahgia nyata.

Kawan, kawan

Menepis segar angin terasa

Lalu menderu menyapu awan

Terus menembus surya cahaya

Memancar pencar ke penjuru segala

Riang menggelombang sawah dan hutan

Segala menyala nyala!

Segala menyala nyala!

Kawan, kawan

Dan kita bangkit dengan kesedaran

Mencucuk menerang hingga belulang.

Kawan, kawan

Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!