Konsultan Warga Negara Amerika Jadi Tersangka Korupsi Satelit Kemhan

Pixabay
Ilustrasi satelit
Penulis: Yuliawati
16/12/2022, 16.32 WIB

Penyidik Koneksitas Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) Kejaksaan Agung menetapkan seorang warga negara asing (WNA) asal Amerika sebagai tersangka dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan periode 2012-2021. Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga tersangka dalam perkara dugaan korupsi satelit yang merugikan negara hampir Rp 500 miliar. 

"Terdapat pengembangan penetapan tersangka baru yaitu seorang warga negara Amerika atas nama TVH," kata Jampidmil Laksda TNI Anwar Saadi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (16/12).

TVH merujuk kepada Thomas Van Der Heyden, yang dicekal sejak 22 Februari. Heyden merupakan konsultan tenaga ahli yang diangkat oleh PT Dini Nusa Kusuma (DNK) dan Kemhan dalam proyek pengadaan dan sewa satelit Kemhan.

Anwar menjelaskan penetapan Thomas sebagai tersangka berdasarkan pengembangan penyidikan lanjutan yang dilakukan Tim Penyidik Koneksitas terhadap para tersangka.

Ada tiga tersangka dalam perkara ini, yakni Laksamana (Purn) Agus Purwoto, yang pernah menjabat Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan periode Desember 2013 sampai dengan Agustus 2016. Kemudian, Direktur Utama PT DNK Surya Cita Witoelar dan Komisaris Utama PT DNK Arifin Wiguna.

"Terhadap keempat tersangka tersebut juga telah dilakukan proses cegah tangkal, dimana mereka tidak boleh bepergian ke luar wilayah Indonesia serta masing-masing melakukan wajib lapor," kata Anwar. Kejaksaan telah meminta keterangan dari 47 saksi yang terdiri dari 18 orang TNI/purnawirawan, 29 orang saksi sipil, dan dua orang ahli.

Proses penyidikan saat ini masih terfokus pada dugaan korupsi proses sewa satelit Artemis milik Avanti. Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perkiraan kerugian negara sekitar Rp 453 miliar.

Tim Penyidik Koneksitas telah menyita beberapa aset tanah dan bangunan yang merupakan milik para tersangka. Tujuannya untuk kepentingan pengembalian kerugian negara.

Kilas Balik Dugaan Korupsi Satelit Kemenhan

Penyidikan atas dugaan korupsi dalam proyek pengadaan satelit di Kemenhan bermula ketika pemerintah kalah dan harus membayar denda atas gugatan arbitrase internasional yang dilayangkan dua perusahaan operator satelit yakni Navayo dan Avanti. 

Pemerintah Indonesia dianggap wanprestasi karena tak memenuhi kewajiban membayar sewa satelit yang ditempatkan di Slot Orbit 123 derajat bujur timur. 

Pemerintah telah menerima putusan dari arbitrase Singapura terkait gugatan perusahaan satelit Navayo. Putusan itu menyatakan bahwa pemerintah diharuskan membayar US$ 20,9 juta atau sekitar Rp 304 miliar.

Pada Juli 2019 pun pemerintah Indonesia kalah dalam gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan operator satelit asal Inggris, Avanti Communications Group, dalam perkara yang sama.

Sejak 2017,  Avanti melayangkan gugatan dengan tudingan pemerintah Indonesia wanprestasi karena belum memenuhi kewajiban membayar sewa satelit L-band Artemis.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD menjelaskan kasus ini bermula pada 19 Januari 2015 saat Satelit Garuda-1 keluar dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia.

Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.

Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.

Untuk mengisi kekosongan pengelolaan slot orbit 123 derajat BT itu, kata Mahfud, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemenhan untuk mendapatkan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015.

Pada saat itu persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat BT dari Kominfo belum diterbitkan. Kominfo menerbitkan persetujuan pada 29 Januari 2016.

Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti pada 2015, Kemenhan pun belum memiliki anggaran untuk membiayai sewa satelit.

"Kontrak-kontrak itu dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan dengan nilai yang sangat besar padahal anggarannya belum ada," ujar Mahfud.

Untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016. Padahal anggarannya pada 2015 belum tersedia.

Anggaran Satelit Komunikasi Pertahanan tersebut tersedia pada 2016. Namun, saat anggaran tersedia, Kemenhan melakukan "self blocking".

Berdasarkan catatan Katadata,  Avanti mengajukan gugatan arbitrase di London International Court of Arbitration pada Agustus 2017.

Gugatan dilayangkan karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. 

Mengutip dari situs Spacenews.com, Kementerian Pertahanan Indonesia memiliki kontrak sewa Artemis dari Avanti senilai US$ 30 juta. Namun, Kemenhan baru membayar US$ 13,2 juta dan menyisakan tagihan US$ 16,8 juta.

 Menghadapi gugatan arbitrase membuat Kemenhan mengembalikan hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo pada 25 Juni 2018.

 Selanjutnya,  pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK).

Namun, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ditinggalkan Kemenhan. 

 Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase internasional London, Inggris menjatuhkan putusan yang mewajibkan RI membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar Rp 515 miliar.

Kemudian baru-baru ini menyusul kabar RI kalah gugatan arbitrase dari perusahaan satelit Navayo dengan perkara yang sama. Pemerintah wajib membayar sekitar Rp 304 miliar.

Mahfud memperkirakan angka kerugian dari gugatan proyek satelit ini akan bertambah besar karena masih beberapa perusahaan lain meneken kontrak dengan Kemenhan. 

Mereka adalah AirBus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. "Jadi banyak sekali nih beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," kata dia.

Reporter: Antara