Wakil PresidenWakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyatakan dukungan untuk menindaklanjuti rumusan regulasi hak penerbit atau publisher rights. Regulasi ini dianggap penting untuk mendukung keseimbangan ekosistem industri media di Tanah Air.
"Agar negara juga bisa hadir lah dan memberikan solusi-solusi tepat guna bagi masalah media dalam persoalan yang dihadapi media," kata Wapres dilansir dari Antara, Kamis (30/12).
Pernyataan tersebut disampaikan wapres saat mengundang pengurus dan anggota Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) di kediamannya, Rabu (29/12). Wapres mengatakan ingin mendengar langsung persoalan yang dihadapi media dari para pemimpin redaksi dan pemimpin organisasi media.
Wapres berjanji akan memperjuangkan pembangunan ekosistem media massa. Dirinya juga akan berbicara kepada Presiden Joko Widodo mengenai hal ini.
Di sisi lain Wapres meminta pimpinan media massa dan organisasi media untuk mendiskusikan persoalan tersebut dengan DPR RI. "Jadi Presiden harus tahu, menteri harus tahu, DPR juga harus tahu, sehingga suara ini terus kita dengungkan. Dari Sekretariat Wakil Presiden juga akan bantu," ujarnya.
Selain itu, Ma'ruf juga mendengar informasi dari Juru bicara Wapres, Masduki Baidlowi bahwa kehidupan industri media saat ini tidak dalam keadaan terlalu baik.
Dewan Pers dan Task Force Media Sustainability sudah mengajukan draf usulan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, terkait publisher rights bertajuk Usulan Jurnalisme Berkualitas dan Tanggung Jawab Platform Digital.
Draf tersebut berisikan hak penerbit dalam hal hak pengelola media, untuk mengatur dan mengurangi dominasi berlebihan platform digital. Aturan tersebut dinilai penting, agar konvergensi media bisa memberikan peluang yang sama baik untuk media konvensional maupun media baru.
Sementara itu, Ketua Forum Pemred Arifin Asydhad menyatakan kondisi media saat ini dalam keadaan darurat. Menurutnya, media yang harus mengikuti perkembangan teknologi informasi, saat ini terjebak dalam urusan mengejar klik dan pembaca atau views.
"Semakin banyak views, media itu dianggap semakin baik. Bahayanya, media berlomba-lomba membuat berita yang akhirnya bisa diklik, akhirnya beritanya adalah berita-berita bombastis," ujar Arifin.
Selain itu, kata Arifin, kemunculan media-media daring tidak sedikit yang melanggar etika dengan melakukan plagiarisme dengan mengambil materi berita dari media lain untuk ditayangkan di medianya.
"Praktiknya banyak media yang akhirnya melanggar etika, satu media punya dua wartawan tapi bisa memproduksi 30-40 berita per hari. Itu dari mana, pasti nyomot sana sini," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan landscape konvensional bisnis media dari hulu ke hilir dikendalikan oleh industri pers. Mereka memiliki pers, percetakannya, hingga pemasarannya.
"Karena dikendalikan, sebetulnya sangat mudah menginjeksi rumusan jurnalisme ke dalam newsroom. Sangat mudah menginjeksi apa yang menjadi kepentingan umum dalam sebuah berita," kata Wenseslaus di hadapan Wapres.
Menyoroti kondisi saat ini, Ketua AMSI mengatakan siapa saja bisa membuat media. Dia mengatakan, saat ini terdapat 57 ribu perusahaan media yang tersebar di Indonesia, namun baru sekitar 2 ribu yang terverifikasi.
Di sisi lain, tantangan industri media Tanah Air juga dihadapkan pada proses distribusi berita. Di mana, kebanyakan masyarakat mencari informasi di mesin pencari seperti Google, media sosial hingga platform berkirim pesan seperti WhatsApp.
"Jadi 90% distribusinya konten (berita dan informasi) di-cover platform," ujarnya.
Adapun sejumlah negara yang sudah memiliki atau merancang regulasi publisher rights, yakni Australia pada 2021. Negeri Kangguru tersebut mengesahkan News Media Bargaining Code, undang-undang untuk mendukung media jurnalistik di tengah distrupsi teknologi.
Berdasarkan aturan tersebut, perusahaan media massa dapat bernegosiasi dengan platform digital terkait harga untuk konten mereka yang dimuat di platform. Jika tidak ada kesepakatan dari kedua belah pihak, maka pemerintah akan menunjuk wasit.