Mengulik Kegentingan Memaksa di Balik Perppu Cipta Kerja, Seperti Apa?

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.
Sejumlah buruh membawa spanduk saat berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Penulis: Ira Guslina Sufa
3/1/2023, 15.49 WIB

Presiden Joko Widodo menutup 2022 dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu pada Jumat, (30/12) lalu. Perppu yang terdiri dari 186 pasal itu menjadi buah bibir lantaran mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satu isu yang ramai diperbincangkan adalah alasan di balik lahirnya Perppu Nomor 2 tahun 20022 tentang Cipta Kerja itu. 

Soal alasan di balik lahirnya Perpu, Menteri Koordinator Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan didasarkan alasan kegentingan yang memaksa. Sedangkan penilaian kegentingan memaksa itu menurut Mahfud sudah diatur dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

"Ada istilah hak subjektif Presiden, itu di dalam tata hukum kita, bahwa alasan kegentingan itu adalah hak subjektif Presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara bahwa itu membuat Perppu itu alasan kegentingan itu berdasar penilaian Presiden saja," ungkap Mahfud seperti dikutip dari Antara, Selasa (3/1). 

Mahfud menyebut banyak juga pihak yang tidak paham putusan Mahkamah Konstitusi MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji materi Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ketidakpahaman itu menurut Mahfud bisa terlihat dari penilaian atas makna inkonstitusional bersyarat seperti dalam putusan MK. 

Sebelumnya pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi memutuskan pembentukan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Pembentukan UU Ciptaker dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".

"Maksud bersyarat nya apa? Berlaku dulu, tetapi selama 2 tahun diperbaiki. Diperbaiki berdasar apa? Berdasar hukum acara di mana di situ harus ada 'cantelan' bahwa 'Omnibus Law' itu masuk di dalam tata hukum kita," ujar Mahfud. 

Atas dasar putusan MK itu, Mahfud mengatakan pemerintah telah menerbitkan UU No. 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022. Undang-undang ini mengatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus

Mahfud menegaskan, keputusan MK terhadap UU Cipta Kerja menyorot mekanisme pembentukan Undang-undang omnibus law. Sedangkan isi undang-undang tidak pernah dibatalkan MK. 

Unsur Kegentingan Memaksa

Dalam konstruksi hukum Indonesia, Perppu memiliki kedudukan hukum yang sama dengan Undang-undang. Adapun dasar hukum pembentukan Perppu adalah Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945. 

Dalam Pasal 22 Ayat 2 dan 3, Perppu disebutkan bahwa Perppu yang dikeluarkan presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Adapun syarat pembentukan Perppu adalah kegentingan yang memaksa yang ditetapkan secara subjektif oleh presiden. Mahkamah Konstitusi menetapkan standar objektif ini dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. 

Berdasarkan putusan MK tersebut, ada tiga syarat yang menjadi parameter dalam menetapkan suatu keadaan yang genting. Pertama adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, kedua undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai. 

Syarat ketiga untuk unsur kegentingan memaksa dalam keputusan MK adalah kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan. 

Di hari pengumuman Perppu Cipta Kerja, Mahfud MD mengatakan kegentingan memaksa di balik lahirnya Perppu adalah adanya kekosongan hukum untuk mengambil kebijakan strategis atas perkembangan situasi ekonomi yang terjadi. Ia menyebut perang ukraina telah memengaruhi negara-negara lain termasuk Indonesia akan mengalami ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, krisis pangan sehingga pemerintah harus mengambil langkah strategis secepatnya. 

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti menilai pernyataan Mahfud MD mengenai penerbitan Perppu merupakan hak subjektif presiden kurang tepat. Meski tidak menampik hal tersebut, Bivitri mengatakan hak subjektif presiden tetap harus disesuaikan dengan konstitusi yang diamini di Indonesia. 

"Kita kan bukan negara monarki ya, jadi hak subjektif presiden itu tidak bisa dipahami seakan-akan itu titah raja. Tetap harus ada ukurannya," kata Bivitri kepada Katadata. 

Bivitri berpandangan penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak masuk dalam kegentingan yang memaksa. Hal ini berbeda dengan alasan sebelumnya saat Presiden Jokowi menerbitkan Perppu seperti Perppu tentang penanganan Covid dan Perppu tentang Pemilu. 

Pada 2022 Jokowi dua kali menerbitkan Perppu yaitu tentang pemilu dan tentang cipta kerja. Perppu tentang pemilu lahir sebagai akibat adanya pembentukan empat provinsi baru sehingga perlu penetapan payung hukum agar tak menghambat proses tahapan pemilu. 

Dia menilai konstruksi konstitusional Perppu berbeda dengan perundang-undangan seperti biasanya yang terdapat dalam pasal 20 Undang-undang Dasar (UUD). Sedangkan, Perppu diletakkan secara terpisah di pasal 22 UUD. 

Ia mengatakan, Perppu tidak boleh dipakai dalam situasi normal. Perppu hanya bisa dikeluarkan dalam artian harus memenuhi ihwal kegentingan memaksa. Sedangkan, untuk alasan terdampak dari perang Rusia-Ukraina—yang jadi salah satu dalih terbitnya Perppu Ciptaker—tidak termasuk dalam ihwal kegentingan memaksa yang dikonstruksikan oleh UUD. 

"Karena yang dibayangkan oleh pembuat UUD pada waktu itu, ketika membuat pasal 22 adalah kegentingannya serius sekali gitu. Ibaratnya itu kalau undangnya gak ada, maka besok tuh Indonesia bangkrut misalnya, atau Indonesia musnah, misalnya gitu," kata Bivitri. 

Bivitri tidak menampik bahwa Indonesia terkena dampak perang Rusia-Ukraina. Namun, ia mengatakan hal tersebut belum masuk ke dalam satu kategori yang di dalam hukum tata negara dinamakan 'hukum tata negara darurat'.

Dia menggambarkan yang masuk dalam kategori tersebut apabila situasinya bencana alam atau perang yang luar biasa. Sedangkan, perang Rusia-Ukraina dampaknya tidak langsung dirasakan oleh Indonesia.

 "Dengan adanya inflasi, krisis ekonomi, bukan berarti kan itu misalnya ya Perppu keluar tanggal 30, kalau gak ada keluar Perppu tanggal 30, tanggal 31 Desember Indonesia bangkrut, kan enggak. orang pemerintah masih bisa memfasilitasi pesta-pesta tahun baru kok," katanya. 

Lebih jauh ia melihat situasi Indonesia yang masih bisa berjuang di tengah krisis yang disebutkan, maka seharusnya dibuat UU bukan Perppu. Pembahasan Perppu sesuai pasal 20 UUD, dengan mengundang DPR ketika masa reses selesai yang mana kurang lebih dari sepekan lagi.  



Reporter: Antara, Ade Rosman