Uji materi terhadap sejumlah pasa dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu mengenai sistem proporsional terbuka menjadi pembuka diskursus politik di awal 2023. Ramai-ramai partai bersuara menyatakan sikap. Delapan fraksi di DPR kompak menolak, sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) berada di barisan yang setuju dengan materi uji materi.
Sikap PDIP sudah jelas dari awal. Satu dari enam nama yang mengajukan uji materi ke MK adalah pengurus PDIP. Dia adalah Demas Brian Wicaksono. Lima nama lain adalah Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Uji Materi itu tercatat dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Adapun poin penting dari uji itu adalah meminta agar MK mengubah bunyi pasal dari sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dengan alasan lebih menjamin hadirnya kualitas legislatif dan lebih hemat anggaran.
Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto beralasan partainya berprinsip ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai politik. Sistem pemilu tertutup dipercaya bisa memberi ruang bagi politisi berpengalaman dan berkualitas untuk mengisi posisi legislatif sehingga melahirkan kebijakan yang berkualitas.
“Bagi PDIP kami berpolitik dengan suatu prinsip, dengan suatu keyakinan berdasarkan konstitusi, peserta pemilu adalah parpol dan kemudian kami ingin mendorong mekanisme kaderisasi di internal partai,” ujar Hasto di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat, Selasa (3/1).
Sikap keras PDIP justru dianggap sebagai upaya melanggengkan oligarki politik oleh delapan partai lainnya di parlemen. Wakil ketua Umum Partai Golkar Nurul Arifin justru mengatakan sistem proporsional terbuka lebih mewakili kehendak rakyat karena pemilih bisa mencoblos langsung calon yang dipercaya. Delapan partai bersepakat putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan pemilihan terbuka sudah tepat.
Adapun 8 fraksi yang menandatangani sikap bersama adalah fraksi Partai Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PBB). Para fraksi sependapat bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka, yaitu pemilih mencoblos caleg saat pemilu bukan mencoblos partai.
"Kemajuan demokrasi pada titik tersebut harus kami pertahankan dan malah harus dikembangkan ke arah yang lebih maju, dan jangan kami biarkan setback, kembali mundur," ujar delapan fraksi dalam surat pernyataan bersama yang ditandatangani Selasa (3/1).
Dalam pernyataannya, delapan fraksi menekankan pada tiga poin sikap. Pertama, akan terus mengawal pertumbuhan demokrasi Indonesia tetap ke arah yang lebih maju. Kedua, meminta Mahkamah Konstitusi untuk tetap konsisten dengan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 pada 23 Desember 2008, dengan mempertahankan pasal 168 ayat (2) UU No.7 tahun 2017 sebagai wujud ikut menjaga kemajuan demokrasi Indonesia.
“Ketiga, mengingatkan KPU untuk bekerja sesuai amanat Undang-Undang, tetap independen, tidak mewakili kepentingan siapapun, kecuali kepentingan rakyat, bangsa dan negara,’ tulis delapan fraksi dalam pernyataan.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan lembaganya tidak akan terganggu dengan polemik para partai terkait sistem pemilu. Ia menyerahkan pada Mahkamah Konstitusi untuk memutus uji materi yang sedang dilakukan. Hasyim menyebut KPU akan lebih fokus melakukan sejumlah persiapan demi mensukseskan penyelenggaraan pemilu 14 Februari 2024 mendatang.
Coblos Caleg atau Partai
Penerapan pemilu dengan sistem proporsional terbuka sudah berlangsung sejak pemilu 2009. Dasarnya adalah Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008 atas uji materi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Ketentuan ini kemudian termuat dalam Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam ayat tersebut secara eksplisit disebut mengenai sistem proporsional terbuka.
Dalam sistem proporsional terbuka, surat suara memuat keterangan logo partai politik, berikut nama kader partai calon anggota legislatif. Pemilih dapat mencoblos langsung nama caleg, atau mencoblos parpol peserta pemilu di surat suara dengan penentuan pemenang berdasar suara terbanyak.
Munculnya uji materi dan dukungan dari PDIP sebagai partai pemenang pemilu 2019 untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup tidak hanya mendapat kritik dari 8 partai politik. Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menganggap perubahan pada sistem proporsional terbuka pada pemilu akan menunjukkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Menurut Fernando, pemilih dapat lebih mengenal individu calon legislatif jika dilakukan dengan proporsional terbuka. Selain itu, sistem ini juga memberikan kesempatan kepada setiap caleg untuk berkompetisi secara terbuka.
"Partai juga diberikan penuh sejak melakukan perekrutan dan mengusulkan calon legislatif," kata Fernando, Senin (2/1).
Lebih jauh ia menyebut, soal kualitas seharusnya terjawab bila semua caleg pilihan partai politik merupakan sosok yang telah dipersiapkan sebelumnya untuk menjadi wakil partai di legislatif. Proses seleksi di internal partai menjadi solusi untuk menghadirkan calon yang benar-benar sudah tersaring. Dia khawatir bila pemilu dikembalikan ke sistem proporsional tertutup justru akan melanggengkan oligarki di dalam partai.
"Jangan sampai sistem proporsional tertutup, akan menjadi lahan bagi partai politik untuk melakukan transisional terhadap caleg yang akan ditunjuk," kata Fernando.
Dosen dari Universitas Jember Muhammad Iqbal sependapat dengan Fernando. Ia menilai keinginan sistem proporsional tertutup adalah ego politik partai untuk pertahankan status quo. Selain itu ia menyebut ketakutan akan politik uang dengan proporsional terbuka bisa dicegah dengan memperkuat pendidikan politik kepada para caleg dan publik. Ia menyebut uji materi yang saat ini bergulir di MK merupakan ujian bagi demokrasi Indonesia jelang Pemilu 2024.