Jokowi Akui Pengusutan 11 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Belum Tuntas

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/YU
Sejumlah mahasiswa dan anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSSK) membawa poster korban tragedi Semanggi I saat mengikuti Aksi Kamisan ke-752 di depan Istana Merdeka Jakarta, Kamis (10/11/2022).
Penulis: Andi M. Arief
11/1/2023, 12.51 WIB

Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah mengakui sebelas peristiwa kejahatan hak asasi manusia atau HAM berat terjadi pada 1965-2003. Kepala Negara pun telah menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD untuk memulihkan hak-hak para korban.

"Saya dan pemerintah berupaya sungguh-sungguh agar pelanggaran HAM yang berat tidak akan terjadi lagi di Indonesia pada masa yang akan datang," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Rabu (11/1).

Presiden Widodo mengatakan ia menaruh simpati dan empati mendalam bagi korban dan keluarga korban kejahatan HAM berat. Menurut Jokowi, penanganan 11 kejahatan HAM berat tersebut tidak akan mengabaikan penyelesaian jalur yudisial.  

Presiden Widodo menilai penanganan 11 kejahatan HAM berat tersebut dapat memulihkan luka anak bangsa dan memperkuat kerukunan nasional. Dia menyebut seluruh kejahatan HAM berat tersebut telah ditentukan dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus.

Secara  rinci, seluruh kejahatan HAM berat tersebut ditentukan oleh Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu. Adapun, tim tersebut dibentuk atas dasar Keputusan Presiden No. 17-2022.

Pada kesempatan yang sama, Mahfud MD menjelaskan penentuan kejahatan HAM berat bukan upaya untuk menghidupkan semangat komunisme maupun mendiskreditkan semangat kaum muslim. Pasalnya, kata Mahfud, ada tiga kejahatan HAM berat berasal dari DI Aceh.

"Kemudian peristiwa pembunuhan dukun santet itu ulama semua, 142 orang jadi korban dan keluarganya sampai sekarang masih menderita, sehingga kita harus turun tangan," kata Mahfud.

Sementara itu, Mahfud menyampaikan penanganan Peristiwa 1965-1966 memakan banyak korban di luar anggota PKI, seperti kaum muslim dan tentara. Adapun, Mahfud mengatakan pemerintah akan memberi santunan dan rehabilitasi kepada semua korban Peristiwa 1965-1966.

Mahfud menyebutkan Presiden Jokowi akan mengundang pejabat terkait ke Istana Kepresidenan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat tersebut. Adapun, beberapa pejabat yang akan dipanggil adalah Menteri Sosial, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Keuangan, Panglima TNI, Kepala Polri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Kesehatan.

Menurutnya, presiden akan menghadapi pelanggaran HAM berat tersebut berdasarkan rekomendasi yang digodok oleh Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu. Mahfud menyampaikan rekomendasi tersebut dibentuk dari sudut politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berkembang saat ini.

Setelah itu, Mahfud akan menugaskan Komisi Nasional HAM untuk berbicara dengan DPR terkait hukum acara pengadilan pelanggaran HAM. Mahfud mencatat hukum tersebut membuat seluruh tersangka dalam pelanggaran HAM berat diloloskan oleh pengadilan.

Mahfud menjelaskan hukum tata acara pengadilan HAM saat ini sulit dipenuhi oleh pihak kejaksaan dalam mendakwa pelanggaran HAM berat. Artinya, kejaksaan sulit membuktikan seseorang melakukan pelanggaran HAM berat karena harus proses pembuktian barang bukti yang sulit.

Barang bukti yang dimaksud adalah bukti visum, korban pelanggaran HAM berat yang dimaksud, dan cara pelanggaran HAM berat dilakukan.

"Kesimpulan Komnas HAM terkait pelanggaran HAM berat nggak salah, cuman dari sudur hukum acara susah dibuktikan. Sehingga, setiap dibawa ke pengadilan ditolak dan tersangkanya dibebaskan semua. Biar DPR yang bicara, pemerintah sudah berusaha," kata Mahfud.

Menurut Mahfud pelanggaran HAM berat berbeda dengan kejahatan berat. Dia menilai perbedaan utama keduanya terletak pada posisi sosial atau jabatan antara pelaku dan korban. Selain itu, motif pelaku memainkan peranan penting.

Ia mencontohkan kasus Ryan Jombang yang membunuh 11 orang sebagai kejahatan berat. Menurutnya, korban kejahatan berat dapat mencapai 200 orang, namun korban kejahatan HAM berat dapat hanya 5 orang.

Lebih jauh, Mahfud mengatakan pelanggaran HAM berat biasanya dilakukan oleh orang berposisi tinggi yang merencanakan kejahatan. Selain itu, motif kejahatan tersebut adalah politik, suku, agama, ras, dan kelompok.

Menkopolhukam juga menyampaikan pihak yang berhak menentukan sebuah kejahatan sebagai pelanggaran HAM berat di dalam negeri adalah Komnas HAM. Sejauh ini, hanya ada 11 pelanggaran HAM berat di dalam negeri yang belum dituntaskan. Satu kasus yaitu pelanggaran HAM di Wamena, Papua pada 2003 sudah disidang. 

Daftar 12 Pelanggaran HAM Berat 1965-2003

1) Peristiwa 1965-1966,

2) Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985,

3) Peristiwa Talangsari, Lampung 1989,

4) Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989,

5) Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,

6) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998,

7) Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999,

8) Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999,

9) Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999,

10) Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002,

11) Peristiwa Wamena, 2013 (sudah tuntas).

12) Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.

Reporter: Andi M. Arief