Sidang Vonis Ferdy Sambo, Hakim: Ada Unsur Sakit Hati Pembunuhan Yosua

ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww.
Terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir Yosua, Ferdy Sambo mengikuti sidang lanjutan di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (24/1/2023).
Penulis: Andi M. Arief
13/2/2023, 14.40 WIB

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan ada unsur sakit hati di balik pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Hal itu disampaikan Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso saat membacakan putusan terdakwa pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2). .    

Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan ada kejanggalan dari keterangan yang dibacakan saksi-saksi selama di berlangnya persidangan perkara yang berlangsung sejak Oktober 2022. Keterangan saksi yang dimaksud adalah saat adik Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Mahreza Rizky memberikan kesaksian. 

Secara rinci, kesaksian yang dimaksud adalah pesan singkat dari Putri berupa foto J yang sedang menyetrika baju. Keterangan singkat yang disertai foto tersebut adalah "Mau digaji berapa abangmu yang baik ini yang perhatian ke anak-anak saya". 

Menurut hakim, adanya foto dan keterangan yang dikirim Putri pada 7 Juli 2022 pukul 18.30 WIB menunjukkan tidak ada kejadian besar yang terjadi saat itu. Menurut Hakim Wakyu, keadaan berubah saat Brigadir J berjalan turun dari tangga meninggalkan kamar Putri. 

Setelah Brigadir J meninggalkan rumah Putri, Asisten Rumah Tangga atau ART Susi melihat Putri tergeletak di pintu kamar mandi. Tidak lama. ART Kuat Ma'ruf bertemu dengan Putri dan menyarankan agar Putri melaporkan perilaku J kepada suaminya Ferdy Sambo. 

 "Dari perhitungan waktu, dapat diartikan ada perbuatan dari korban yang membuat Putri sakit hati, sehingga Putri membuat kesan atau cerita yang seolah-olah korban telah melakukan pelecehan seksual, atau perkosaan, atau hal lebih dari itu," kata Wahyu. 

Di samping itu, Wahyu mengatakan tidak ada bukti fisik yang membuktikan Putri telah menjadi korban kekerasan seksual. Bukti fisik yang dimaksud adalah dokumen medis terkait kesehatan Putri.  Sebelummya dugaan pelecehan terhadap Putri dijadikan Ferdy Sambo alasan di balik pembunuhan yang ia lakukan terhadap Brigadir J. 

Di sisi lain, mengatakan Putri memiliki relasi kuasa yang lebih tinggi dari Brigadir J. Putri dinilai memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi sebagai dokter gigi dan posisi sosial yang lebih tinggi atau sebagai istri Kepala Divisi Propam Kepolisian. 

Sementara itu, Brigadir J merupakan personel Kepolisian dengan pangkat Brigadir dengan jabatan ajudan dan hanya memiliki tingkat pendidikan SMA. Hakim juga melihat adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud, sangat kecil kemungkinan korban melakukan pelecehan seksual. 

“Tidak ada fakta yang membuktikan Putri mendapatkan PTSD akibat pelecehan seksual atau perkosaan," kata Wahyu.

Wahyu menjelaskan Putri tidak memiliki PTSD atau stress setelah mendapatkan trauma berat. Sebagai informasi, PTSD merupakan penyakit mental yang biasanya dimiliki oleh korban kekerasan seksual atau perkosaan. 

Wahyu menjelaskan umumnya korban kekerasan seksual harus melalui lima tahap kesedihan agar bisa sembuh dari PTSD. Adapun, waktu yang dibutuhkan untuk sembuh dari PTSD memerlukan waktu yang lama. 

Sementara itu, Wahyu menemukan Putri sempat mendatangi jenazah korban setelah korban meninggal. Wahyu menilai perilaku tersebut bertentangan dengan perilaku pasien PTSD.

"Putri yang menemui orang yang diduga melakukan kekerasan seksual terlalu, sehingga tidak masuk akal dali kekerasan seksual tersebut," kata Wahyu. 

 Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup. Jaksa mengatakan berdasarkan keterangan sejumlah saksi dan alat bukti, Ferdy Sambo telah secara sah melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 

Dalam perkara ini, Sambo disebut secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana bersama Bharada Richard Eliezer, Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Putri Candrawathi. Dalam sidang tuntutan yang berlangsung Senin (16/1) Jaksa menuntut Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf dengan hukuman 8 tahun penjara.  Sedangkan Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara. 

Dalam tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum juga menyebut Ferdy Sambo telah secara sah dan terbukti melakukan tindakan melawan hukum melakukan tindakan pidana tanpa hak dan melawan hukum menyebabkan terganggunya sistem elektronik. Ferdy Sambo dinyatakan melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsider Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau Pasal 233 KUHP subsider Pasal 221 ayat (1) ke 2 juncto Pasal 55 KUHP.

Reporter: Andi M. Arief