Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker), kini menjadi kontroversi setelah DPR batal mengesahkannya pada masa sidang ketiga periode 2022-2023.
Menurut Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi, kontroversi ini terjadi karena menurut Pasal 22 Ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD), Perppu setelah ditetapkan mesti mendapatkan persetujuan DPR dalam masa sidang berikutnya. Tetapi, hal ini tidak terjadi, karena masa sidang DPR setelah Perppu Ciptaker ditetapkan berakhir pada Kamis (16/2) lalu.
Hal itu membuat ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 tidak terpenuhi. "Sebagai konsekuensinya, Perppu Ciptaker harus dicabut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 ayat (3) UUD," ujar Fajri dalam konferensi pers virtual, Minggu (19/2).
Fajri juga menyebut Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi syarat formil sebuah undang-undang, sebagaimana diatur dalam UUD.
Situasi yang terjadi saat ini, menurut Fajri, justru memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. Padahal, pemerintah berupaya membuat Undang-Undang Cipta Kerja untuk memberikan kemudahan investasi dan kepastian hukum dalam berniaga di Indonesia.
"Ini justru kontraproduktif dengan apa yang ditujukan di awal," ungkapnya.
Alih-alih memperbaiki undang-undang tersebut, Fajri menilai Perppu justru membuat keadaan lebih buruk karena pengusaha dan pekerja akan kesulitan untuk mendapatkan acuan hukum.
Fajri menilai Perppu Cipta Kerja menunjukan bagaimana pemerintah gagal memberikan solusi, setelah Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi.
"Kalau dikaitkan dengan tren pemerintah saat ini yang fokus terhadap investasi pasti sulit," katanya.
Fajri menyarankan pemerintah dan DPR agar fokus kembali kepada amanat yang diberikan Mahkamah Konstitusi ketika menyatakan Undang-undang Cipta Kerja inkonstitusional.
Hal senada juga diungkapkan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti. Menurutnya pembuatan Perppu Cipta Kerja seharusnya tunduk pada aturan mengenai mekanisme pembentukan undang-undang.
Susi menjelaskan, Perppu dibuat tidak semata-mata hanya mengelola masalah kegentingan yang memaksa. "Seringkali dinilai kegentingan yang memaksa standarnya sangat politik," ungkapnya pada konferensi pers ini.
Selain itu, Perppu juga dituntut untuk mengubah keadaan abnormal kembali menjadi normal.
Sementara, Susi menyebut pemerintah tidak menjalankan perintah MK untuk memperbaiki prosedur Undang-undang Cipta Kerja dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Kenyataannya, pemerintah malah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang tidak mungkin melibatkan partisipasi publik, karena proses pembuatan Perppu sepihak dari pemerintah. "Syarat konstitutif tidak terpenuhi," kata Susi.
Kekosongan Hukum
Meski begitu, ia menjelaskan pekerja dan pengusaha tidak perlu khawatir untuk mencari kepastian hukum. Hal ini karena tidak terjadi kekosongan hukum, meski Perppu Cipta Kerja belum mendapatkan persetujuan DPR, sehingga aturannya belum berlaku. Negara tetap akan memiliki hukum dengan mengacu kepada undang-undang sebelumnya. "Kita tidak boleh membiarkan ada kekosongan hukum," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Achmad Baidowi, mengatakan tidak adanya pengesahan Perppu Cipta Kerja pada sidang paripurna DPR Kamis (16/2) disebabkan karena terganjal prosedur.
Dia mengatakan Baleg baru saja menyurati pimpinan DPR soal rencana pengesahan Perppu Cipta Kerja. Sedangkan pembahasan di tingkat terakhir harus dijadwalkan lebih dulu oleh Badan Musyawarah DPR atau Rapat Konsultasi Pengganti Bamus. "Seandainya sebelum paripurna sudah ada pembahasan, mungkin bisa (sah), tapi tidak keburu," kata Baidowi.