Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur atau Pemprov NTT membatalkan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi WITA.
Pemprov NTT, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT, serta para Kepala SMA/SMK/SLB Negeri di Kota Kupang menyepakati kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi.
FSGI mendorong Pemprov NTT mempertimbangkan kembali kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi. Sebab, ini sangat membahayakan tumbuh kembang anak.
FSGI pun mengumpulkan pendapat sejumlah guru dan orang tua terkait kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi di NTT. Mereka mencatat banyak orang tua yang tidak setuju dengan kebijakan ini, karena:
- Faktor keamanan anak saat menuju sekolah
- Transportasi yang sulit pada pagi hari
- Kesiapan orang tua di rumah baik dalam menyediakan sarapan dan lainnya
- Kesehatan anak dan kemampuan belajarnya
“Apabila anak tidak cukup waktu tidur, maka akan ada dua fase yang sangat berpotensi terganggu yakni kesehatan tubuh dan pertumbuhan otak dapat terpengaruh,” kata FSGI dalam keterangan pers, dikutip dari Antara, Selasa (28/2).
Studi membuktikan anak-anak yang kurang jam tidurnya cenderung memiliki mood tidak stabil, mudah marah, sulit konsentrasi ketika melakukan sesuatu dan mengalami penurunan kemampuan belajar ketika di sekolah.
Penelitian Journal Academic Pediatrics itu juga menunjukkan, siswa sekolah dasar dapat mengalami gangguan belajar, mengingat dan menganalisi.
“Tidur sangat penting bagi tubuh. Pada saat tidur, tubuh memperbaiki diri baik secara fisik maupun mental, sehingga kita merasa segar dan berenergi saat bangun, serta siap menjalani aktivitas,” kata Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti.
Oleh karena itu, mereka meminta aturan masuk sekolah jam 5 pagi di NTT dibatalkan.
Hal senada disampaikan oleh P2G. “Kami menilai kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi di NTT tampaknya tidak melalui kajian akademis terlebih dulu,” kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangan pers berbeda.
Seharusnya ada kajian secara filosofis, sosiologis, pedagogis, termasuk geografis. Sebab, banyak sekolah yang jaraknya jauh dari rumah siswa atau guru di NTT, bahkan ada yang lebih dari lima kilometer.
Kebijakan masuk seolah jam 5 pagi di NTT juga dinilai tidak berkorelasi dengan capaian kualitas pendidikan di provinsi tersebut, karena masih terdapat banyak masalah seperti:
- Prevalensi stunting tertinggi yakni 37,8% berdasarkan data Kemenkes 2021
- IPM NTT 65,28 atau peringkat ke-32 dari 34 provinsi berdasarkan data BPS 2021
- Masih banyak ruang kelas di sekolah dalam kondisi rusak yakni 47.832 kelas, berdasarkan data NPD Kemdikbudristek 2021
- 66% SD belum dan berakreditasi C
- 61% SMP belum dan berakreditasi C
- 56% SMK belum dan berakreditasi C
- Ribuan guru honorer di NTT diberi upah jauh di bawah UMK/UMP yaitu Rp 200 ribu – Rp 750 ribu per bulan
"Semestinya kebijakan pendidikan pemprov berfokus saja pada masalah esensial dan pokok di atas. Bisa dikatakan ‘Pemprov NTT menggaruk bagian yang tidak gatal’,” kata Satriwan.