Ancaman Deforestasi di Balik DBH Sawit, Pemerintah Perlu Lakukan Ini
Kebijakan pemberian Dana Bagi Hasil (DBH) sawit dibayangi risiko deforestasi karena tak menutup peluang daerah non penghasilan ikut membabat hutan demi memperoleh tambahan pendapatan.
Pengamat memperingatkan agar moratorium sawit berjalan optimal, sementara anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta ada dana khusus untuk daerah non penghasil yang masih melestarikan hutan.
Kebijakan DHE sawit mulai meluncur tahun ini. Sri Mulyani menyiapkan anggaran Rp 3,4 triliun yang akan ditransfer ke 350 daerah penghasilan sawit dan daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil. Besaran yang diberikan beragam sesuai formula perhitungan dan kinerja, namun setiap daerah minimal memperoleh Rp 1 miliar.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie memperingatkan kebijakan ini berisiko memicu deforestasi. Pasalnya, ia khawatir daerah yang selama ini masih memiliki hutan tergoda untuk ikut mengizinkan pembukaan lahan sawit baru demi mengejar transfer DBH sawit.
"Karena ada karakeristik daerah tertentu yang punya hutan lindung, punya lahan produktif, punya cagar budaya dan sebagainya, karena tidak dapat insentif kemudian berlomba-lomba mengalihkan semuanya ke sawit," kata Dolfie dalam rapat dengan Kementerian Keuangan, Selasa (12/4).
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut kebijakan DBH itu seharusnya tidak serta merta mendorong penambahan lahan sawit baru. Alasannya, pemerintah sudah memiliki kebijakan moratorium sawit yang menahan penerbitan izin baru lahan sawit. Meski demikian, moratorium itu berakhir pada September 2021 dan belum ada kepastian hingga saat ini.
Di sisi lain, Tauhid tak menampik bahwa kebijakan dan praktik di lapangan tak selalu sejalan. Karena itu, ia menyebut risiko pembabatan hutan masih tetap ada terutama adanya dorongan dari sektor swasta. Desakan swasta untuk membukan lahan sawit baru itu bisa semakin kencang jika harga sawit terus merangkak naik sehingga menjanjikan 'cuan' besar.
Tauhid menyarankan pemberian DBH itu nantinya ditentukan spesifik penggunannya, seperti pembangunan infrastruktur jalan, penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat sekitar perkebunan sawit hingga insentif untuk sertifikasi bagi petani.
Sementara, Dolfie meminta Kementerian Keuangan juga bisa memberi insentif bagi daerah non sawit yang memiliki kawasan hutan lindung atau cagar alam. Ia ingin insentif tersebut bisa diambil dari dana alokasi khusus (DAK) yang penyalurannya selama ini tanpa formula tertentu seperti DBH.
"Kami ingin kebijakan ini (DBH) juga disertai dengan mempertajam kebijakan di DAK fisik bagi daerah-daerah afirmatif, yaitu daerah yang memikiki hutan lindung, punya cagar alam, cagar budaya, mereka menjaga semua itu tapi tidak dapa insentif," kata dia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani setuju terkait kekhawatiran Dolfie itu. Ia juga tak ingin kebijakan baru yang dikeluarkan justru menimbulkan efek negatif terhadap keragaman hayati dan dampak lingkungan.
Meski demikian, ia memastikan instrumen kebijakan pemerintah lainnya, di luar DBH, akan tetap mendukung upaya melindungi hutan Indonesia. Salah satunya melalui pengembangan pasar karbon.
"Kami juga akan lihat dari keseluruhan set DAK dan instrumen yang lain untuk bisa tetap menjaga hutan-hutan, terutama hutan lindung. Kami dengan KLHK sedang sangat serius membangun mekanisme carbon market. Jadi instrumennya akan terus dikombinasikan dengan berbagai hal yang kita miliki," kata Sri Mulyani.