Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai koalisi besar rentan berubah akibat manuver-manuver politik dari partai di luar koalisi, salah satunya adalah PDI Perjuangan.
“Misalnya saja jika ada manuver-manuver politik yang dilakukan oleh PDIP, misalnya membangun komunikasi yang serius dengan salah satu atau dua partai dalam koalisi besar hingga akhirnya berkoalisi, pasti akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Arya, Kamis (13/4).
Wacana Koalisi Besar ini merupakan peleburan dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) terdiri dari Gerindra dan PKB, serta Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terdiri dari Golkar, PAN dan PPP.
Ketua Umum lima parpol ini sempat bersilaturahmi bersama dengan Jokowi di markas DPP PAN pada Minggu (2/4). Belakangan, PDIP dikabarkan ingin bergabung dengan koalisi besar.
Menanggapi ini, Ketua DPP Golkar Ace Hasan Syadzily, menyatakan memberikan syarat kepada PDIP jika ingin gabung dengan koalisi besar. Ace meminta semua partai politik (parpol), termasuk PDI-P agar tidak ingin menguasai arah koalisi.
"Harus dipahami bahwa koalisi ini ada yang menginisiasi," kata Ace. "Jangan sampai nanti misalnya koalisi sudah dibangun tapi belakangan ingin menguasai. Tentu itu yang harus dihindari," kata dia.
Peran Besar Jokowi dalam Arah Koalisi Besar
Arya juga melihat keberadaan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) sebagai magnet dari koalisi tersebut juga dapat menjadi penyebab kerentanan selanjutnya.
“Karena Pak Jokowi menjadi magnet pembentuk dan perekat serta jangkar koalisi, maka ketika interest beliau berubah dan ada pembicaraan yang serius dengan PDIP, maka hal itu akan mempengaruhi koalisi besar,” kata Arya.
Arya Fernandes melihat gagasan pembentukan koalisi besar itu dimunculkan untuk mengatasi kebuntuan dan/atau kerumitan di dalam KIB dan KKIR.
Menurut Arya, kebuntuan yang terjadi dalam satu tahun terakhir itu bersumber dari ketidakpastian soal kandidat capres-cawapres oleh dua koalisi politik tersebut.
“Problem atau kerumitan itu tampak dari tidak adanya kepastian soal siapa yang akan didukung baik oleh KIB maupun KKIR, tidak ada perkembangan yang signifikan dalam setahun terakhir, dan juga tidak ada mekanisme yang disepakati dalam penentuan capres-cawapres,” ujarnya.
Arya melihat keberadaan Presiden Jokowi menjadi krusial karena berperan sebagai jangkar dan magnet pembentuk serta perekat perbedaan di antara parpol anggota KIB dan KKIR.
“Pak Jokowi menjadi jangkar karena beliau dianggap bisa mempertemukan kepentingan-kepentingan politik yang berbeda di antara partai politik tersebut,” ujar Arya.